Mohon tunggu...
Burhan
Burhan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Banjir Kanal Timur, Marunda, dan Nelayannya

20 Juni 2012   10:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:44 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340188358402549015

[caption id="attachment_195981" align="aligncenter" width="576" caption="Riska (tengah) sedang mengupas kulit kerang milik salah satu nelayan bersama warga Marunda lainnya. (Foto: Nafis)"][/caption]

Perjalanan ke Marunda Sabtu, 17 Juni 2012 tampak akan lancar saja. Namun, kami tak menduga ternyata Jalan Cakung-Cilincing khususnya sekitar flyover sangat macet parah ditambah oleh proyek jalan tol di hadapan yang membuat macet semakin menjadi. Satu jam setengah kami merayap di tempat itu yang hanya sepanjang sekitar 300 meter.

Selepas dari macet, setiba di lokasi tujuan kami yakni Kampung Marunda Cepuk, Kelurahan Marunda, kami tersengat panas yang memang sudah biasa untuk daerah pesisir seperti di sana. Namun, karena sifat narsis kami bertahan untuk berpose di tempat yang cukup asing bagi keseharian kami.

Kami tiba di rumah tokoh masyarakat yaitu Pak Gobang pukul dua belas siang. Di rumah beliau diadakan perkenalan dengan orangtua asuh kami selama satu hari ke depan. Saya sendiri bersama dengan Agung Maulana, salah seorang teman dari Perkumpulan Indonesia Berseru, akan tinggal di rumah Bapak Ismail (39thn) yang seorang nelayan. Bapak angkat saya ini beristrikan Ibu Farida (20an thn), anak Bapak Gobang. Pasangan Bapak dan Ibu telah memiliki tiga orang anak berturut-turut Ismi, Riska dan Abi.

Selesai perkenalan di rumah Pak Gobang kami langsung makan siang di “rumah” masing –masing. Yang kami temui tentu saja adalah makhluk air dalam piring makan kami. Makanan yang akan selalu kami temui sampai esok hari.

Dalam obrolan kami dengan Bapak dan Ibu, didapati informasi bahwa proyek Banjir Kanal Timur membuat wilayah tangkap ikan semakin jauh dari daratan yang akibatnya biaya semakin mahal, baik itu biaya materil maupun biaya non-materil. Dengan jauhnya nelayan harus memacu perahunya, maka konsumsi bensin ataupun solar akan semakin besar, modal yang harus dikeluarkan pun semakin tinggi. Sementara efek lain yang tidak kalah mengerikan adalah keselamatan nelayan yang terancam dengan yang warga setempat sebut dengan limbah putih. Limbah putih telah memakan korban jiwa. Ketika sedang berada di air, korban terkena limbah putih, memang ketika terkena dampak tidak langsung terasa. Namun, beberapa waktu kemudian korban mengalami kencing darah yang disebabkan oleh pecahnya kandung kemih, tak lama korban pun meninggal.

Limbah ini berasal dari pabrik-pabrik sekitar Banjir Kanal Timur yang memang membuang limbah produksinya ke laut melalui BKT. Limbah inilah yang menyebabkan lingkungan air menjadi tidak layak untuk ikan yang semakin menjauhi daratan Marunda. Limbah ini pula yang telah merenggut nyawa seorang nelayan muda.

Banjir Kanal Timur memang telah mengurangi dampak banjir yang biasa diterima warga setiap kali air pasang ataupun musim hujan. Namun jika harus memilih, warga lebih senang terkena banjir dan naik ke ranjang. Dibanding banjir yang berkurang hanya sampai di depan pintu, tapi bisa melaut tanpa harus jauh mendekati laut lepas yang tentunya berisiko tinggi bagi perahu nelayan Marunda yang kebanyakan tergolong kecil.

Karena besar pasak daripada tiang, banyak nelayan yang memutuskan hanya mencari kerang dara di perairan dangkal itu pun bisa dilakukan hanya ketika air laut sedang surut. Biasanya nelayan menyesuaikan dengan berangkat ke laut dangkal pukul satu pagi dan pulang pukul sebelas siang. Hasil tangkapan akan direbus kemudian dibuang cangkangnya agar dapat dijual lebih mahal yakni duaribu rupiah per kilogram, sedangkan jika masih bercangkang seribu rupiah per kilogram. Dan jika berhasil memisahkan daging kerang dengan cangkangnya maka seseorang berhak menerima upah nguli sebesar dua ribu per kilogram. Salah seorang yang setiap hari bekerja mengupas kulit kerang itu ialah Riska. Hal itu dilakukannya untuk menambah uang saku sekolahnya.

BKT juga telah membuat anak-anak sekolah harus memutar lebih jauh, akibatnya mereka harus naik ojek bahkan satu motor berenam termasuk pengemudi. Yang tidak cukup uang harus rela berjalan kaki cukup jauh. Padahal sebelumnya seluruh anak-anak dapat mencapai sekolah mereka dengan berjalan kaki saja. Seringkali juga anak-anak tidak dapat berangkat ke sekolah karena tidak punya ongkos untuk mengojek. Warga sudah mengkonfirmasi permasalahan mereka ke pemda dan memohon agar dapat dibangun jembatan agar anak-anak mereka dapat lebih dekat ke sekolah. Namun hingga sekarang belum ada tanggapan. (BAs)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun