Mohon tunggu...
Arif Burhan
Arif Burhan Mohon Tunggu... profesional -

Aku adalah ....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pengakuan Biduan

1 September 2014   09:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:56 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGIAN I

LAHIRNYA RESAH

Hujan lebat pertengahan Januari. Suara guntur menggelegar. Petir yang menyusul menyambar melintang pukang. Langit gelap sesekali kekuningan seperti dirambati sengatan listrik. Pohon-pohon bergelayut, daun-daun tua jatuh, dahan gemeretak terbawa angin besar. Dusun Badran malam hari itu, seperti membawa firasat buruk bagi warga yang biasanya nyenyak tidur dalam sunyi sepi.

Bayi perempuan itu lahir dalam diam ibunya. Pendarahan yang hebat memaksakan agar selamanya Si Ibu menutup mata saat seorang dukun perempuan berhasil menarik seorang bayi dari rahimnya.

”Bayinya selamat, namun Ibu Isah meninggal!”, kata dukun.

Mendengar perkataan dukun perempuan itu, sontak ekspresi nyinyir wajah para tetangga yang datang berkerumun menyiratkan duka mendalam. Mereka seperti ikut mati melihat ironi bayi yang lahir dengan menggantikan nyawa ibunya. Sejenak tercipta hening di sekitar rumah bambu tempat tinggal Ibu yang mati karena melahirkan itu, terkecuali tangisan bayi yang melengking sendiri.

Resah Pertiwi, begitu saja kelak nama bayi itu. Resah Pertiwi nama yang lahir dari kenyataan. Resah Pertiwi nama yang besar dalam keadaan labil akibat dilema lahirnya bocah dan matinya Ibunda. Resah sosok bayi yang dimandikan manakala ibunya dikuburkan. Resah tumbuh dalam Piatu.

Kematian Isah, baru diterima Parmo sehabis Shubuh. Parmo saat itu tengah merantau kerja di Jakarta bersama rombongan proyek di desanya. Lek Man adalah seorang mandor proyek sekaligus orang yang ditelepon oleh orang desa agar mendesak Parmo segera pulang ke desa. Seperti adatnya orang kampung kalau meninggal, sebagai keluarga Parmo harus pulang menghormati jenazah isterinya sebelum dikuburkan. Dan itu artinya Ia harus meninggalkan pekerjaan di proyek.

"Mo, ada kabar kurang baik dari kampung?", tukas Kang Man.

"Kabar apa kang?", jawab Parmo menimpali.

"Isterimu 'kan hamil, aku tadi dikabari orang kampung agar kau pulang karena kondisinya kritis", Jawab Kang Man, dengan nada sedikit hati-hati.

"Tapi sejak saya pamitan ke sini, sehat kok Kang. Bahkan kata dukun, tidak ada masalah, bu bidan kampungpun juga bilang normal". Jawab Parmo, kuatir.

"Ah, kau harus segera pulang pokoknya, ini penting. Dan untuk kebutuhan uang transportasimu selama di kampung aku sebagai mandor yang tanggung. Sementara pekerjaanmu, biarlah Udin yang melanjutkan. Yang penting besok pagi-pagi benar kau harus sudah dalam perjalanan ke kampung", jawab Lek Man dengan nada tinggi.

"Iya, kang terima kasih.", Jawab Parmo, pasrah.

***

Bus yang membawa Parmo melaju layu dari terminal Lebak Bulus menuju Semarang. Sementara suasana hati Parmo cemas. Ia ingin segera sampai di rumah dan mengetahui apa yang terjadi pada Isah. Tak lama kemudian ia mengambil sebungkus rokok kretek dari kantong celananya, “hff.. fuhh”, muncul suara dari bibir Parmo. Dari bibirnya yang kering keluar asap rokok kretek yang dibakar. Ya, Parmo hanya bisa pasrah. Dan dalam kepasrahan lelaki kampung itu hanya mengenal merokok. Rokok adalah satu-satunya cara mengatasi masalah, dan menyelesaikan masalah.

Empat belas jam perjalanan di bus tak membuat badan Parmo Capek. Hanya asap dan lembabnya bus non AC itu membuat baju Parmo menjadi lusuh. sesampai di Terminal dekat kampung ia mengojek, bergegas untuk pulang. Parmo hanya membawa tas ransel kecil di punggungnya, tas ransel yang sama buruknya dengan kaus yang tengah ia pakai.

Sementara itu suasana rumah Parmo sudah ramai. Melihat suasana rumah yang berkabung, secara bergegas ia mendekati untuk mengetahui apa yang sebetulnya terjadi. Parmo mendekati tetangga dan keluarganya, beberapa tak sanggup menahan harunya.

“Semoga diberi kesabaran, ya Kang,” begitu kata Dar, adik Parmo sambil mendekap tubuh Parmo yang kurus namun otot-ototnya masih kencang dan Sawo Matang.

Melihat ekspresi Dar dan tetangganya, Parmo menangkap apa yang terjadi. Parmo semakin bergegas dengan langkah kaki yang melemas mendekati meja untuk memastikan wajah terakhir isterinya. Dengan keteguhan hati, Parmo menyibak kain itu dan saat diketahuinya itu wajah dan tubuh isterinya, Parmo benar-benar terjatuh tak sadarkan diri setelah sadar Jenazah telah siap untuk diangkat dan diantarkan ke pemakaman desa setempat.

***

Kematian Isah adalah mimpi buruk bagi Parmo. Isteri yang dinikahinya pada usianya ke 35 tahun, sementara almarhum Isah meninggal dalam usia tujuh tahun lebih muda, yakni 28 tahun. Janin yang dikandung Isah sebelum meninggal, adalah janin pertama Isah. Cinta Parmo dan Isah terlampau cepat dalam kesederhanaan kehidupan. Cinta dua muda-mudi polos yang hanyut dibawa nasib takdir tuhan. Kini Parmo harus berjuang sendiri membesarkan anak semata wayangnya.

Sebetulnya, beberapa tetangga dan keluarga besar yang kebetulan belum dikaruniai anak ingin mengadopsi anak Parmo ini. Tapi sekali lagi, meskipun dibekap kesulitan dan kemiskinan, Parmo berusaha untuk sekuat tenaga membesarkan Resah. Parmo mencintai puterinya seperti halnya sayangnya dengan isterinya yang baru saja meninggal.

Dalam beberapa hari ini upacara takziah ke rumah Parmo dilaksanakan sampai tujuh hari. Acara peringatan tujuh hari meninggalnya Isah, oleh Parmo dilaksanakan pula pada upacara pemberian nama anak. Parmo mengusulkan nama anaknya Resah Pertiwi, Ia sengaja memberikan nama ini karena ia berharap, jika anak perempuannya sudah besar, kelak ia ini akan selalu mengingat masa lalunya. Anaknya adalah perempuan yang lahir dalam perjuangan dan kekhawatiran. Bahwa ia dilahirkan dengan cara yang tidak mudah. Ya, nama adalah harapan dan do’a.

Bersambung kapan-kapan….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun