Dan udara berhembus pelan merembeti dahan-dahan pohon kelapa. Gemericik air sawah serta hewan malam samar terdengar. Rembulan benderang, kunang-kunang menari-nari diantara pekat. Bintang-bintang di langit semerbak seperti kembang api.
Parmo tinggal dalam masyarakat yang sakit. Hidup pada masyarakat anarki yang selalu anomi. Desa-desa tak lagi kolektif. Virus kota telah masuk. Ladang beralih jadi gudang. Petani-petani ditendang dari sawah oleh pemilik uang. Para niagawan itu membeli melalui makelar petani menengah yang menukar guling tanah. Dan niagawan itu tetap mampu menghasilkan laba lagi dari tanah yang mereka beli.
Akhirnya, tanah Parmo termasuk yang jatuh ke tangan seorang niagawan Cina. Sepuluh tahun lalu, orang tua Parmo menjualnya untuk naik haji. Sejak dijual itulah, Parmo harus ke kota untuk bekerja. Bekerja menjadi kuli karena praktis hanya tenaga yang ia punya. Parmo hanyalah orang kecil. Ia dikorbankan tanpa merasa jadi korban. Korban dari situasi ekonomi yang kian hari kian sulit. Ia mabuk oleh keadaan yang membuatnya menjadi urban.
Pada malam itulah Parmo merenungi segala nasib yang menimpanya. Hampir setengah bulan, ia telah membesarkan Resah di rumahnya tanpa isterinya. Orangtuanya, sesekali membantunya setiap pagi. Membangunkan Parmo, menyiapkan susu, alat mandi dan baju ganti untuk digunakan Resah. Lama, Ia terhening dan menegun di antara tangan yang ia gunakan untuk menyangga kepalanya yang dirasainya semakin berat. Ia mengantuk, namun sebelum itu ia sempat menyanyi, menyanyi di antara kesedihan yang ia rasakan. Ia melantunkan tembang dalam sajak yang ia gubah sendiri, begini tembangnya:
Disambung kapan lagi deh....