Mohon tunggu...
Burhan Ali
Burhan Ali Mohon Tunggu... -

Mahasiswa di Universitas Ibn Tofail Kenitra Maroko sejak tahun 2008

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bilik Cinta; Kereotan Berfikir

18 September 2011   22:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:50 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penjara merupakan pemukiman resmi para penjahat (dalam segala versinya) yang di nilai telah melanggar aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh negara.

Penjara juga disisi lain merupakan bentuk usaha preventif dan persuasive untuk menghasilkan efek jera kepada narapidana untuk tidak mengulangi tindakan jahatnya. Sekaligus menjadi semacam malaikat Izrail ( pencabut nyawa ) yang akan menciutkan mental masyarakat untuk berbuat kejahatan, karena itu tidak mengenakkan dan mengerikanya berada dalam bui. Di tambah dogma dan pola pikir masyarakat bahwa penjara adalah tempat hina, sehingga yang keluar darinya, otomatis stempel hina akan terus melekat. Dari sini, sehingga kriminalitas bisa di redam volumenya jika fungsi dan makanisme penjara berjalan dengan baik dan benar.

Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) mencatat jumlah tindak kriminalitas selama Agustus 2011 mencapai 1.758 kasus dari berbagai jenis kejahatan di wilayah hukum DKI Jakarta dan sekitarnya. Itu baru yang di Jakarta, itu baru yg bisa terungkap. sedangkan di kota-kota lain dan yang tidak terungkap ?. Tentu lebih banyak.

Kriminalitas terus bertambah jumlahnya, terus beragam macamnya.

Indonesia adalah Negara hukum, yang terbanyak komunitas muslimnya, di tambah tanah air kita yang masyhur dengan sopan santun dan ramah tamahnya. Tapi kenapa kejahatan tumbuh subur di tanah yang subur ini. Apakah embel-embel itu hanya bualan kosong, hanya dongeng pengiring tidur.

Kriminalitas tidak hanya terjadi di luar bui, pelakunya pun tidak hanya masyarakat sipil, karena sangat banyak juga kriminalitas dalam transaksinya berada dalam area penjara. Baik itu para napinya, sipir lapas dan penjabat-pejabatnya. Kasus Artalita menjadi sampel kecil dari anyirnya penjara kita. Yang berduit, yang berkuasa, penjara bisa serasa di hotel. Di sulap semau mereka, juga pengakuan-pengakuan dari mantan napi yang katanya, lalu lintas peredaran narkotika berjalan juga di sana, transaksi PSK, gerombolan genk dan sebagainya yang kerap menyelimuti atmosfer penjara-penjara di negeri kita.

Begitu memilukan, begitu bobroknya penjara-penjara di negeri kita. Tak berkualitas.

Karena tak usalah ada “bilik cinta” meski terselip niatan baik juga dalam penerapannya. Tetapi itu tak sebanding dengan resiko yang akan di hadapi kedepan. Wong belum ada bilik cinta aja PSK masih sering nyelonong masuk.

Sementara ada dua hal yang mendasari tidak perlunya “ bilik cinta".

  1. Akan memudar dan hilangnya daya kesakralan penjara sebagai jawaban dari kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan atau efek jera. Sehingga jika penjara di pandang ompong (karena fasilitas-fasilitas yang ada membuat nyaman). Imbasnya angka kriminalitas akan terus melejit.

  2. Bilik cinta mungkin bisa di pertimbangkan, tapi jauh lebih di pertimbangkan, dan menjadi hal primer adalah kebobrokan penjara-penjara kita yang harus segera di benahi termasuk kedisiplinan dan mekanismenya. Secepatnya, sebersih-bersihnya. Karena sudah banyak tangan-tangan kotor yang mengotak-ngatiknya. Jika terus didiamkan sama halnya dengan kita membiarkan kejahatan tetap berkeliaran. Membiarkan duri terus berada dalam sepatu kita.

  3. Termasuk akan kita temui ketimpangan, manipulasi dalam prakteknya. Akan banyak dijahili tangan-tangan biadab. Karena bisa juga status pacar di anggap legal. Dan lain sebagainya.

Karena pejara bukanlah rumah, tempat singgah melepas lelah, tempat berkumpul dengan sanak saudara. Penjara adalah imbalan bagi mereka yang melakukan pidana. Tempat kotor, bagi mereka yang melakukan tindakan tindakan kotor.

So, bolehlah bilik cinta itu diberadakan, tapi tidak untuk sekarang. Karena masih banyak hal-hal yang jauh lebih penting yang mesti di prioritaskan. Seperti halnya buat apa membeli ice cream, jika perut kelaparan, bukankah lebih logis dan tepat membeli nasi.


Di Muat di Website ppimaroko.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun