Mohon tunggu...
Shulhan Hadi
Shulhan Hadi Mohon Tunggu... -

suka membaca, paling suka kalau tulisannya dibaca orang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kata yang Terakhir Untuk My

25 Agustus 2011   14:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ini ceritaku dengan jessicaOktaviantY(Joy) di malam kesekiannya, setelah bertemu di rumah tuhan minggu lusa, aku menjumpainya kembali dfalam kesempatan yang tidak sama. Dan yang seperti dia selalu mempesonaku. Dia memang berbeda dengan cewek yang lain. Perbedaan yang aku gunakan memang beda dengan perbedaan yang orang-orang pakai. Selama sering mengikuti kejuaraan lomba berhitung atau semacam sayembara aljabar, kampus cemara tempat ia diwajibkan memakai seragam seperti dokter yang menolong orang kesakitan belum pernah sekalipun kampus tersebut memanggil namanya untuk menjadi duta perlombaan. Bukan karena dia tidak pandai, melainkan masih ada yang lebih pandai yang sesuai dengan aturan orang-orang penyelenggara lomba. Namun bagiku konsisitensi intelektual yang Joy miliki melebihi yang dimilikiki teman-temannya. Bagiku ukuran kepandaian atas suatu disiplin bukanlah ditenteukan oleh sampai sejauh mana seorang siswa/i melangkahkan kakinya keluar kampung demi mengikuti sayembara adu pintar. Tetapi ketetapan penyikapan yang ia terima dari seoarng guru di dalam kelas hingga berada di luar pagar sekolah itulah yang menjadi ukuranku. Di mataku, yang menyebabkan para atlit lomba berhitung itu tidak menjadi juara satu bukanlah dikarenakan kesalahannya dalam menebak beberapa jawaban untuk soal yang diujikan. Namun ketidak konsistenannya melafalkan angka ketika berada dihadapan guru dengan saat dihadapanku itulah yang melandasi.

Aku masih teringat suatu kejadian di sore hari pada masa beberapa waktu yang agak lama dulu, ketika siswa-siswa yang menamakan dirinya ASC berkerumun di teras masjid sambil melakukakan hitung bersusun di kertas- kertas coret mereka. Saat bersamaan aku menacari joy yang waktu itu masih kelas XI. Seorang diantara yang berkerumun mengeluarkan kata untuk membantuku setelah aku bertanya kepadanya

Kosong delapan satu..........”, begitu cara dia menyampaikan nomor telepon genngam joy yang belum aku punya.

Dan cara seperti itu tetap abadi hingga malam ini.

Kesalahan kecil itu bagiku adalah nila yang menetes pada belanga penuh susu. Absurd, dan aku kadang menikmati pula ketidaknyamanan sikap seperti ini.

******

Ruang pementasanTeater SMA Muh. 3 Gtg......

Panggung di depan kami tertata seakan mengikuti aturan hukum yang tidak tertulis untuk teater, paling tidak untuk pementasan malam hari ini. Remang- remang dan cenderung mini kata seolah ini adalah rukun pementasan. seakan varietas teater kaya kata sebelum WS. Rendra datang dari negeri Paman Sam telah punah. Di depan panggung itu ada aku, joy dan beberapa perwakilan komunitas teater yang menyempatkan menonton. Kjeberadaan kami yang tak lebih dari satu setengah peleton pasukan polisi antihuru hara semakin menebalkan anggapanku, teater adalah proyek kesenian gagal karena egoisme dan ekslusifitas dirirnya. Teater tak lebih indah dari dandanan kaum putri yang malam itu hadir duduk di kanan dan kiriku. Teater senmakin wingit bersama dengan perangkat mainan ABG yang semakin luar biasa.

Penampilan inti telah usai ditandai dengan diijinkannya para penonton untuk membawakan puisinya masing-masing. Joy menjadi awal dari pertanda itu, dengan diiringi permainan gitar dari Pak Boy sang tukang ajar olah gerak yang aku mengetahui namanya saat aku sering pinjam buku di perpustakaan kampus ibrahimy di jaman jerseyku abu putih kain katun. Dan menurutku ini adalah penampilan inti di mataku. Diawali petikan gitar yang merdu seperti sendaren dari daun gebang ia kemudian membunyikan suara. Nada suaranya naik turun seperti lereng lembah di Taman Nasional Bukit Barisan yang tak akan bisa untuk lomba baris berbaris Agustusan. Keindahaanya tak aku ambil dari syair yang ia baca. Kenikmatanku terjadi saat mendengar serak suaranya. Pada angle yang tepat, keberdiriannya di belakang kedudukan pemain gitar seperti arca saraswati meski malam itu wajah seorang pria yang di depan.

Dikandung maksud mengikuti teater mini kata yang sepi suara, aku pun memuji kawan baikku itu dengan mini kata, dengan mengetik kata pada papan tuts 4x3 aku berharap senyumnya berlomba saling mendahului dengan senyum yang menyungging di bibirku

Congrat, keren dan indah penampilanmu

Begitu yang tampak pada monitor, namun sesampai acara usai. Pesan itu urung dengan sendiri, bukan terkarena tak ada daya di mesin penghubung itu, namun karena nomor dia terhapus pada indra pengingat telepon genggamku.

SnJ

2155/240811

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun