Sepertinya istilah socialite telah kian kita akrabi belakangan ini. Termasuk juga dikalangan aktifitas seni. Kaum socialite, boleh dibilang, mungkin dominan dan apresiator utama saat ini. Kita bisa memahaminya sebagai kolektor, peminat karya seni, yang juga menjadi bagian dari himpunan socialite. Jadi, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan socialite disini? Jawaban ini pun terasa sulit karena kata socialite biasanya digunakan dalam percakapan ringan dan hanya tercantum dalam majalah-majalah. Sulit untuk memahami dan memberikan definisi atau kategori tentang socialite. Setidaknya lebih sulit dibandingkan dengan pengelompkan, misalnya, politisi, akademisi, kaum professional, bahkan masyarakat selebritis atau pun eksekutif.
Dalam mengaitkannya dengan seni, ada baiknya kita kemudian membahas Maecenas. Ada sedikit kesamaan antara kaum socialite dan Maecenas, setidaknya berdasarkan fenomena saat ini. Sama-sama mendukung dan meminati aktifitas seni. Kata Maecenas sebenarnya berasala dari nama Gaius Cilnius Maecenas (70–8 SM) seorang penasihat politik Kaisar Roma pertama Octavian/Caesar Augustus. Dia adalah manusia penting dalam generasi aliran puisi yang disebut Augustan. Pada masanya, dia memiliki cukup kekuasaan dan dianggap berhasil menjalani peran sebagai patron seni yang baik. Dia mendukung aktifitas banyak seniman seperti Virgil, Propertius, Varius Rufus, Plotius Tucca, Valgius Rufus, Domitius Marsus, dan seniman-seniman dimasa itu, misalnya dengan memberikan dana tempat tinggal yang memadai di gunung Sabine untuk Horace. Mengenai Maecenas, Alexandre Dumas menggambarkannya dalam Novel The Man in the Iron Mask karya dengan sosok Lenotre dengan sangat baik dalam kemajuan budaya dan kelimpahan makanan. Selain itu, Leo Tolstoy dalam novel Anna Karenina menggambarkan Vronsky sebagai Maecennas yang memiliki tugas membantu dalam menghasilkan dan menentukan gambar-gambar yang bagus. Dan kita bisa memahami seorang Maecenas memiliki tanggung jawab langsung dalam keberlangsungan praktek seni. Dan disitulah bedanya. Dalam socialite Amerika Ava Alice Muriel Astor (1902-1956) tercatat sebagai seorang patron seni dan pemilik ballet companies di London dan New York.
Hal yang sudah jelas dan kita pahami tentang socialite adalah sebuah kelompok khusus. Disebut khusus, hingga perlu pembedaan antara socialite dan society. Sejarah socialite pertama kali lahir di Amerika dan Amerika Selatan. Amerika Serikat adalah sebuah Negara dengan ideology liberal yang juga melahirkan filsafat pragmatisme. Park Avenue dan the North Shore of Long Island adalah tempat penting dalam perkembangan awal budaya socialite. Budaya ini ikut digambarkan dalam lagu Cole Porter, penyanyi dan pencipta lagu kenamaan Amerika abad XX. Kehancuran ekonomi Amerika pada 1929 (the Great Depression) yang menimbulkan penanganan serius dan banyak larangan, tidak terlalu mempengaruhi kehidupan malam, bahkan menjadi masa kelahiran istilah Café Society dan banyak kafe-kafe mewah.
Sulit menyangkal socialite sebagai suatu kecenderungan tentang hal-hal yang bersifat kemewahan dan elitis. Kehidupan malam sendiri sepertinya memang kecenderungan alami budaya tinggi. Berbeda dengan Amerika, Eropa memiliki akar historis yang berkaitan dengan tradisi ningrat, batasan-batasan, dan terdapat suatu arah yang digariskan. Hal tersebut yang membuat keberadaan socialite yang kita kenal sekarang tidak dilahirkan di Eropa. Seni modern yang terlahir Eropa membuat kecenderungan elitis di Eropa berada dalam kerangka budaya tinggi. Budaya disana identik dengan logika budaya atau tidak berbudaya. Budaya yang berkembang tersebut antara lain seni, musik klasik, pemikiran, pertunjukan teater, dan sastra. Elitisme Eropa tersebut terjadi karena hanya kalangan elit intelektual-lah yang mempraktekkan budaya tinggi. Akses tersebut tidak dimiliki masyarakat kebanyakan.
Pengaruh Perang Dunia II dianggap sangat berpengaruh perubahan dalam tatanan hidup masyarakat bernegara. Perkembangan radio, media massa, dan jasa penerbangan di Amerika membuat kaum socialite menuju kelas atas masyarakat Eropa dan Amerika Selatan. Ini membuat socialite semakin meluas dan dinamis. Praktek socialite kemudian menjadi antonim atau lawan praktek masyarakat umum. Dalam posisi sebagai kelas atas dalam bagian kecil masyarakat mereka memang bisa membeli dan melakukan apapun. Baru sekitar tahun 1950an kaum socialite membaur dalam kehidupan masyarakat umum. Keluarga kaya raya macam Woodward dan Rockefeller menikahi selebrities. Akhirnya socialite cukup ditentukan melaui pernikahan, dan juga affair. Awal perubahan tersebut mengajukan socialite sebagai bentuk ‘the new society’.
Seniman Andy Warhol adalah bagian sekaligus pencemooh socialite. Terutama segala gambaran umum konsumerisme Amerika. Hal tersebut dapat kita lihat dibanyak karyanya. Bersama Brit Haddon, dia adalah bagian masyarakat bohemian dan hedonist masyarakat socialite. Kehadirannya juga mengilhami kelas pekerja. Dimasa hidupnya selama 39 tahun, meninggal 1987, Andy Warhol cukup aktif dengan terbitan majalahnya . Dia tertarik dengan kasus meninggalnya Eddie Sedwigck seorang anggota keluarga New England, socialite yang meninggal karena overdosis. Pembauran socialite dalam budaya orang kebanyakan juga dipengaruhi perkembangan kebebasan wanita dan kepahlawanan di TV. Ini berbenturan dan cukup mempengaruhi keberlanjutan socialite. Broke Astor, wanita kaya raya keluarga Astor juga mempengaruhi keragaman socialite sebagai seorang dermawan. Socialite mendapatkan pengaruh dalam perkembangan anti kemapanan, dalam kecenderungan baru society proletar. Tapi seperti yang terjadi dimana pun dan mudah kita pahami, selalu terlihat terjadi keragaman sikap. Sekitar 1960an istilah juga socialite sempat menjadi sesuatu yang bersifat konsep dan pusaka dan tradisi. Beberapa pihak merasa menjadi ahli warisnya, keluarga-keluarga kaya raya, elit penguasa, dan juga para scoundrels berkumpul minum dan menari dalam satu acara bersama, dengan istilah the “Twist” and the “Frug”.
Broke Astor, meninggal tahun 2007, dianggap menginspirasi bentuk baru liberalisme Amerika dengan kedermawanannya di New York dalam berbagai bidang. Pengamat socialite di New York menganggapnya ironis mengingat masa yang berbarengan dengan munculnya socialite macam Paris Hilton. Istilah socialite sepertinya hanyalah sebuah bahasa percakapan dalam media tentang kemewahan kelas atas yang merupakan minoritas dalam masyarakat yang memiliki dominasi teruat dan coba mencari perhatian. Seperti yang terpahami secara umum kaum socialite selalu berhubungan dengan konsumsi kelas dan status sosial yang tentu berkaitan dengan kemampuan menghasilkan uang dan hiburan-hiburan privat.
Banyak manusia mendambakan kesederhanaan, sebagian yang lain seperti sangat menikmati hidup yang begitu cepat. Banyak orang terikat pada sebuah lingkungan dan lingkaran-lingkaran aktifitas untuk mampu bertahan hidup dalam rutinitas yang padat. Tiap individu dalam dunianya, sociosphere, social circle. Tapi pada umumnya kita semua memang sering kali melupakan diri kita. Untuk bertahan hidup dan untuk ketidakberdayaan pada waktu yang harus dijalani. Tapi sulit untuk berani menyatakan keterasingan itu tidak menyenangkan. Kita bersepakat untuk menjalani hidup yang sudah terbiasa. Kini, socialita bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Tahun 90an, makna socialite mulai benar-benar dianggap kabur, ragam gambaran yang mengikutinya: memiliki posisi yg terjamin, dermawan, glamour, koleksi seni, aktivis independen, hingga sekedar sibuk arisan dan membesarkan anak. Sebagian besar dari mereka menggemari barang koleksi, memiliki rumah mewah, membeli saham sebuah klab atau resto, bergaul dengan desainer fashion, atau bahkan pejabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H