[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="google images"][/caption] Membaca berita tentang kecurangan terorganisir di sebuah SMU swasta di Lampung, membuat saya pusing sekaligus bangga. Dengan sistem pendidikan yang amburadul dan pengaruh budaya instan yang menyebabkan remaja kini sering galau tanpa sebab, ternyata ada seorang perempuan tangguh bernama Nur Hidayatusholihah (Nunung), yang teguh dalam memegang prinsip, percaya diri, dan berani mengambi keputusan yang melawan arus, apapun resikonya. Tindakan Nunung tentu saja inspiratif. Walaupun gagal Ujian Negara (UN) tiga kali, ia percaya harga diri manusia terletak pada keberanian bersikap dan kesiapan menjalani resiko dari keputusannya -tanpa- mengeluh. Tidak ada "jalur ekspress" menuju keberhasilan, semua kesuksesan lahir dari kerja keras dan kemauan untuk mengambil hikmah dari kegagalan, sebagai bekal melangkah selanjutnya. Inilah proses pendewasaan dan life skills yang tidak bisa didapatkan di mata pelajaran apapun di sekolah. Tapi jangan lupa.. Kegagalan Nunung BUKAN karena sekolahnya terlibat kecurangan, tapi karena dia mendapatkan nilai Ujian Nasional (UN) yang rendah di pelajaran Matematika. Apakah sekolah Nunung gagal memberikan pelajaran sesuai standar UN, ataukah pihak Kemendiknas yang harus merevisi soal UN menjadi lebih mudah? Atau sebaiknya UN dihapuskan saja? Saya jadi teringat ketika bersekolah dulu. Setelah mabok selama 12 tahun (SD, SMP, SMA) dihantui berbagai ujian mulai dari EBTA, EBTANAS dan UMPTN, akhirnya ketika kuliah dan membuat skripsi, saya bisa berkata, "this is what learning is all about.." Bahwa setumpuk buku-buku itu bukan hiasan lemari, tapi bekal berisi teori yang bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, untuk memecahkan berbagai masalah yang kita hadapi, bahkan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Berdasarkan itu jugalah, bagi saya ada baiknya jika pihak Kemendiknas merenungkan kembali standarisasi UN sebagai syarat kelulusan. Daripada membuat siswa terpaksa belajar tanpa tujuan yang jelas, mengapa tidak mendorong mereka untuk mengerjakan sebuah proyek yang mengasyikkan, memcahkan kasus yang terjadi di dunia nyata, dan bagaimana teori yang mereka dapatkan selama ini di sekolah bisa diapakai untuk memberi sebuah solusi. Selain merangsang siswa untuk berfikir kreatif, hal ini akan menunjukkan kemampuan mereka dalam membuat sebuah inovasi. Jika sistem ini yang diberlakukan, saya yakin Nunung pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Dengan keberanian dan keteguhannya dalam mempertahankan prinsip, saya yakin dia berhak melanjutkan hidupnya dan meraih masa depan cemerlang. Sebuah sistem yang baik seharusnya justru bisa mengoptimalkan pribadi-pribadi tangguh seperti Nunung, bukan malah menghambatnya. Dengan dukungan sistem yang tepat, bukan tidak mungkin seorang Nunung akan merubah nasib bangsa ini, bersama Nunung-Nunung lain yang siap bekerja keras, tidak hanya menunggu uluran tangan atau perlakuan khusus dari siapapun, melainkan bergerak sendiri dan menciptakan sebuah perubahan bagi bangsa ini. * * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H