Seorang supir taksi di New York, anggap saja namanya Johny, laki-laki berusia 35 tahun, suatu hari bertemu teman semasa SMA yang hari itu kebetulan naik kedalam taksinya. "Hey, Arthur!" kata Johny. "Apa kabarmu? Sudah lama kita tidak berjumpa sejak belasan tahun yang lalu? Kerja dimana sekarang? Kau kelihatan rapi sekali!" lalu Arthur menjawab, "Hey Johny.. Senang bertemu denganmu! Tolong antar saya ke konvensi luar angkasa yang diadakan NASA. Hari ini saya bertugas menjadi pembicara disana."
Dua laki-laki, sama-sama orang Amerika, berada di tingkat usia yang sama, bahkan keduanya lulus dari SMA yang sama. Kenapa pilihan karir mereka begitu berbeda? Johny menjadi supir taksi, sementara Arthur menjadi ilmuwan NASA yang sukses.
Begitu pula dengan tayangan di National Geographic Channel yang meliput pembangunan stasiun dan rel kereta api bawah tanah di negara Turki. Dari seluruh nara sumber yang berbicara di tayangan ini, perwakilan pihak insiyur dan project manager adalah orang-orang Eropa dan Amerika, sementara warga lokal Turki hanya bertindak sebagai perwakilan pemerintah. Sebagian besar warga lokal bekerja di posisi paling rendah: kuli bangunan. Usia mereka kurang lebih sama, tetapi seperti halnya Johny dan Arthur, kehidupan para insinyur dan kuli bangunan tersebut jelas berbeda.
Apa yang menyebabkan perbedaan Johny dan Arthur? Atau para insinyur vs kuli bangunan? Logika saya mengatakan bahwa perbedaan utama terletak pada pilihan mereka selepas SMA.
Arthur, dan para insiyur yang mengerjakan proyek di Turki, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara Johny, dan para kuli bangunan di Turki, entah karena ketiadaan biaya, atau karena kondisi non-ekonomi, memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
Pendidikan tinggi memang tidak akan menjamin siapapun untuk meraih kesuksesan dalam karir dan hidupnya. Apalagi akhir-akhir ini dunia dibuat tercengang dengan munculnya milyuner muda baru seperti Mark Zuckerberg dan nama-nama lain yang 'bersinar' di dunia teknologi internet, meskipun mereka drop out dari bangku kuliah. Meskipun demikian, di sisi lain kita tetap dihadapkan pada kenyataan bahwa:
Seseorang yang melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi akan memiliki kesempatan lebih luas dalam hal karir/pekerjaan, dibandingkan mereka yang hanya lulus SMA.
Namun pola pikir orang tua jaman dulu, yang "bangga bisa menyekolahkan anak sampai lulus kuliah" -- itu juga (menurut saya) kurang sempurna. Ijasah saja tidak cukup, Pak, Bu.. Ijasah pendidikan tinggi hanya bersifat screening awal untuk menentukan boleh atau tidak kita ikut 'bertarung' di arena "kesempatan" tetapi kalau kita asal masuk tanpa punya senjata yang memadai, baru jalan satu langkah bisa-bisa langsung mati kena tembak.
Saya punya ponakan yang sekarang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta bergengsi di Surabaya, sudah semester 5 kalau tidak salah. Tapi suatu hari saya dibuat kaget karena dia pasang status di BBM yang keliru memakai kata BITCH untuk menjelaskan bahwa dia sedang berada di pantai, alias BEACH. Setelah puas tertawa, saya kemudian berfikir "kasihan sekali orang tuanya, habis biaya besar untuk kuliah tapi hasilnya koq seperti itu?"
Saya juga pernah kesulitan mencari temporary staff untuk menggantikan saya selama cuti melahirkan, padahal persyaratan yang kantor kami butuhkan sederhana. Lulus D3/S1, bisa bahasa Inggris, dan bisa mengoperasikan program Microsoft Office. Beberapa pelamar datang dari kampus bergengsi swasta maupun negeri, tetapi dari tiga pelamar hanya satu yang paham bahasa Inggris. Semuanya tidak paham Microsoft Excel, dan satu orang (lulusan S2), datang memakai celana jeans dan kemeja ketat.
Kenyataan yang menyedihkan, ya?
Mereka semua ibarat peluru tajam yang siap ditembakkan, tapi entah kenapa selalu gagal keluar dari senapan. Itu sebabnya orang tua tidak boleh seratus persen bergantung kepada pihak universitas, semahal apapun dan sebaik apapun reputasinya. Jika sarjana yang dihasilkan ternyata GAGAL TOTAL dalam memotivasi diri untuk memanfaatkan ilmunya di kehidupan nyata, seharusnya pihak universitas rela mengembalikan uang puluhan juta rupiah yang sudah dibayarkan orang tua. Tapi itu tidak akan terjadi, tentu saja.
Yang bisa kita lakukan adalah menganggap bahwa proses transfer pengetahuan sejak bangku SD hingga perkuliahan, sudah menjamin setidaknya 50% kesiapan anak untuk terjun ke dunia kerja. Tapi sisa 50% merupakan tanggungan orang tua. Sistem pendidikan kita tidak "terbiasa" melatih siapapun untuk termotivasi memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk membuat, menciptakan sesuatu atau meraih sesuatu.
Malah sebaliknya, motivasi anak semakin tidak terpelihara dengan baik, karena sistem pendidikan kita terfokus pada "apa yang harus dipahami anak" bukan pada "apa yang bisa diraih oleh anak setelah memahami sesuatu."