Awalnya Anggi sangat berhati-hati menyelupkan jari telujuknya pada palet yang sudah terisi cat air. Perlahan dia torehkan telunjuk jarinya yang telah berwarna pada kain putih yang terbentang.
Kain mori yang telah tersedia yang berada didepannya dia duduk bersila. Kain mori adalah kain yang biasa untuk membungkus orang mati. Kain putih panjang yang dibentangkan mirip sajadah panjang di dalam masjid
Anggi menulis namanya pada kain mori tersebut. Anggipun melebarkan jemarinya dan menempelkannya pada kain tersebut berjajar-jajar. Tampak indah tapak-tapak tangan mungil dalam hamparan kain mori putih tersebut.
Tiba tiba Anggi menulis kata "Mati... Mati...mati..."
Sambil tangannya ditekan-tekankan pada kain, dia hentak-hentakan telapaknya pada kain sehingga cap tangannya tak beraturan. Wajah Anggi pun jadi merah begitu juga matanya seperti menahan amarah. Lalu mencengkeram kain yang telah dia cap, sehingga teman-teman disampingnya protes berteriak gaduh pada Anggi. Kain moripun jadi mengingsut ke arahnya. Anggi mirip orang yang sedang geregetan atau gemas giginya dirapatkan matanya mendelik lalu tangannya dikepalkan.
Menurut dr. Eko Jaenudin SpA yang saat itu berada dilokasi, Anggi sedang mengalami proses kehilangan sehingga dia mengalami guncangan jiwa. Kehilangan orang yang dia cintai, meski hal tersebut bisa terjadi pada setiap orang. Dari semula ada menjadi tidak ada.
Dokter Eko menuturkan ada fase-fase yang dialami ketika individu kehilangan diantaranya menyangkal realitas kehilangan atau apa saja yang barusan terjadi, menarik diri atau suka menyediri, pandangan kosong dan suka menerawang tanpa tujuan.
Selanjutnya orang yang mengalami kehilangan secara tiba-tiba mungkin mengalami keputusasaan secara mendadak gampang marah, merasa , frustasi dan depresi.
 Setelah marah dan depresi mulai menghilang baru berkembangnya keasadaran dan biasa menerima.
Pada masa anak-anak, kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang-kadang akan timbul regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian, imbuh dr Eko.
Tiap individu tidak sama dalam merespon kehilangan. Semakin cepat mencapai tahap penerimaan, maka ia akan dapat segera mengakhiri proses kedukaan dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Begitupula sebaliknya, semakin lama mencapai proses penerimaan semakin komplek masalah yang akan timbul di kedepannya, jelas dokter Eko.