[caption caption="sate blendet, orang-orang lebih suka menyebutnya sate kopok"][/caption]Memasak tak hanya menerapkan resep yang telah ada, tapi bagaimana ketika memasak ingatannya melayang pada masa silam. Masa di mana dia belajar, masa di mana dikenalkan tentang masakan, masa ketika masih berkumpul dengan orang-orang yang dikasihi. Sehingga rasa yang dihasilkan tak berubah jauh dari ketika si pemasak kali pertama mengenal makanan yang ia masak. Memasak adalah terjemahan atas kerinduan, rindu seakan-akan berada pada masa yang telah terlalui. Mungkin itu dari sekilas cerita Suci penjual sate blendet di daerah Balong.
Warisan budaya tak hanya terpaku pada seni gerak atau seni rupa. Indonesia kaya warisan resep kuliner, banyak di antara kuliner tersebut hampir punah bahkan hanya tinggal cerita. Bagaimana resep-resep masakan tersebut tetap bertahan, dan abadi meski jaman terus menggerusnya. Itulah alasan Katimin dan Suci istrinya berjualan sate blendet dan soto sampai sekarang.
Namanya aneh sate 'blendet', blendet (bahasa Jawa) kata untuk menggambarkan lumpur, lumpur yang halus teksturnya. Mirip juga dengan kata 'blendek', yaitu sisa-sisa yang berbentuk lunak dan sedikit cair atau kental.
Sate blendet, sate ini tekstur dagingnya empuk, bahkan bisa dibilang lunak. Begitu menapak lidah masih utuh dan ketika langit-langit rongga mulut dikatupkan daging tersebut perlahan hancur. Daging ayam yang sudah matang dipotong-potong seperti sate lalu dibakar.Â
Penyajiannya ditaruh di piring dan diguyur dengan kuah santan kental berwarna putih kekuningan. Kuah tersebut ditaburi irisan daun jeruk purut sehingga santan yang kental tadi terasa segar. Ini untuk penyajian porsi besar, yaitu sate dihitung dalam jinahan per sepuluh biji. Sedangkan nasi sotonya disendirikan.
Penyajian yang lain, di atas nasi soto ditaruh 2 tusuk sate baru diguyur dengan kuah blendet. Ini yang paling disuka pembeli, perpaduan antara soto dan kuah blendet membuat rasa lain, dan ini menjadi ciri khas yang diburu orang-orang.
Katimin dan istrinya Suci adalah generasi ketiga. Mereka diajarkan memasak soto dengan sate blendet ini dari Jirah ibunya Katimin. Sedangkan Jirah diajari oleh ibunya yang bernama Damitun.Â
[caption caption="Suci berjualan di warung sederhananya "]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/27/snd-7489-5770184b717e61e30ff46df6.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Satu hal yang menarik orang-orang lebih suka menyebut sate kopok. Nama ini lebih melegenda dari nama aslinya. Berkali-kali Suci protes keberatan dengan istilah yang sudah terlanjur menjadi merek ini, namun bagaimana lagi. Kopok, artinya cairan yang keluar dari telinga karena infeksi. Mungkin warna dan bentuk kuah blendenya serupa dengan kopok sehingga orang-orang seenaknya membuat istilah baru. Sungguh menjijikkan bila terdengar, tapi begitu melihat dan mencicipi kesan tersebut langsung hilang berganti rasa ketagihan.
Seporsi soto dengan 2 tusuk sate blendet dihargai 5 ribu. Bila menginginkan soto dan sate dipisah, per tusuk sate dihargai seribu rupiah. Sambal kecap atau sambal bawang menjadi pelengkap kuliner ini.Â
Di tempat lain ada yang telah dimodifikasi, bagi yang tidak suka soto, disediakan nasi sayur lodeh tempe dan lotho ditumpangi sate baru diguyur kuah blendet. Pembeli tinggal pilih sesuai selera, namun bila ingin sate blendet seperti aslinya hanya ada di desa Karangpatihan Balong ini, yaitu warungnya Suci.