Atik langsung merangsek maju dari tempatnya berdiri. Anak bungsunya langsung dicangklek (gendong samping) memakai kain jarik yang sedari tadi dibikin kalung. Dia segera berhamburan berebut koran-koran bekas bersama puluhan pencari koran bekas sesamanya.
Koran-koran bekas alas sajadah sholat Idul Fitri. Hujan di malam takbiran semalam meski sebentar menyisakan gembongan-gembongan air di aspal yang tidak rata. Koran-koran bekas dari berbagai media dengan segala jenis berita. Koran-koran bekas yang begitu saja ditinggalkan oleh pemakainya. Koran-koran sampah berbagai hasil jurnalis dan berbagai isi berita yang entah sudah terbaca atau belum oleh pemiliknya.
Bagaimana nasib kora-koran bekas 2 ribuan ini setelah sholat Idul Fitri usai? Koran-koran sampah saksi ketertundukan pada Illahi di hari Idul Fitri. Dibiarkan saja berhamburan di jalan propinsi. Ditinggalkan begitu saja oleh si pemakai, seakan sipemakai lupa pada janji. Mirip-mirip pilkada ikut berjuang mati-matian dan begitu jadi dilupakan. Dibiarkan berserak lupa berterima kasih.
Untung ada Atik, Rudi, Jarno, dan puluhan temannya pemburu sampah berkah. Menurut Jarno tak ada niatan untuk mencari pahala dari mengumpulkan sampah-sampah. Dia dan keluarganya berharap bisa makan dari sampah koran bekas yang berserakan ini. Menurut Atik sekilo koran bekas dihargai 3,5 sampai 4 ribu, lumayan katanya karena bisa mendapat 10-an kg. Uang 30-40 ribu sudah di pelupuk mata.
Beda lagi sama Rudi, dia membawa becak dia sudah mengumpulkan dari dua tempat sholat Idul Fitri. Mungkin bila dikira-kira sudah 40-an kilo lebih yang dia dapat.
Ternyata tak ada yang sia-sia dari apa yang telah disia-siakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H