Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memotret Manusia Api

20 September 2014   00:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:11 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324580" align="aligncenter" width="450" caption="Semburat api mengarah ke badan Pak Jumadi"][/caption]

Hampir seminggu saya penasaran bagaimana cara memotret api yang berpijar dari besi yang memerah membara ketika godam pemukul pandai besi ini dipukulkan. Berkali-kali mencoba tapi hasilnya masih kurang melegakan. Dari jauh tidak jelas, namun dari dekat kaget dan kepanasan kena cipratan api sampai kaos yang saya pakai bolong-bolong.

Esoknya saya ulangi lagi semangat sih membara, namun begitu besi membara itu berpijar, saya sudah meloncat duluan, lagi lagi kaos bolong-bolong seperti kena api rokok, dan lengan melepuh.

[caption id="attachment_324581" align="aligncenter" width="450" caption="Semburat api seperti tumpahan, dan sebagian menuju ke kamera saya"]

1411122126149615780
1411122126149615780
[/caption]

Yang membuat saya heran mengapa Pak Haji Syahri dan Pak Jumadi tidak apa-apa, bahkan lecet pun tidak padahal percikan api menyebur tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala. Terkena percikan sedikit saja saya langsung melepuh, luar biasa mereka. Tanpa pelindung tubuh bahkan sambil telanjang dada api langsung menyebur ke badannya.

"Perlu ajimat atau ritual khusus Pak, biar tahan panas?" tanya saya.

Sambil tertawa Pak Jumadi mengatakan, "Resepnya anak, istri di rumah butuh makan mas....., ndak ke dukun dukunan, nggak jimat-jimatan."

Haji Syahri menjelaskan mereka sudah terbiasa, sudah puluhan tahun dengan pekerjaan main-main dengan api ini, lama-lama kebal.

"Api tidak sempat hinggap pada badan karena kita terus bergerak dengan terus memukul-mukul dengan godam, kita berburu cepat karena besi keburu dingin." kata Mas Karyono yang bertugas memompakan udara agar bara arang memerahkan besi plat, dan sesekali Mas Karyono ikut memukul memakai godam bergantian bergilir, tanpa berbenturan dengan Haji Syahri dan Pak Jumadi,

Besoknya saya ulangi lagi, namun tidak ada pijaran api seperti pada hari pertama dan kedua. Kata Pak Jumadi pijaran api bisa muncrat besar itu ketika membuat parang atau pisau agak besar, dari besi yang masih ungkul (batangan) atau plat bekas pir kendaraan. Namun hari ke-3 saya kurang beruntung karena tidak ada orang yang memesan untuk dibuatkan parang atau pisau besar.

Hari keempat saya datang lagi bersama istri sambil momong anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun