[caption caption="[K-Jogja] Kebijakan Realokasi Dana Subsidi BBM di Bidang Kesehatan"]
[/caption]Â Sabtu kemarin saya mendapat undangan dari FEB UGM Yogyakarta bersama 14 Kompasianer yang tergabung dalam K-Jogja. Tidak tahu apa kapasitas saya, saya bukan berlatar belakang ekonomi, dan juga bukan berlatar belakang perminyakan. Tajuk masalah yang dibicarakan seputar "Kebijakan Realokasi dana Subsidi BBM". Anggap saja ini pengalaman yang langka buat saya, meski bukan mengatas namakan lembaga atau instansi.
Dalam persentasi Pak Rimawan Pradiptyo, PhD memaparkan hasil penelitiannya, digambarkan bahwa bulan Nopember 2014 yang lalu Presiden Joko Widodo mereformasi kebijakan  subsidi BBM. Anggaran subsidi BBM bisa ditekan dari Rp 276 T ke Rp 65 T. Sehinga ada dana sekitarRp 211 T yang bisa dialokasikan ke anggaran lainnya. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan petanyaan kemana saja penghematan subsidi BBM direalokasi, apa saja kompleksitas dari realokasi subsidi BBM, dampak realokasi subsidi BBM terhadap resiko fiskal, dan dampak realokasi subsidi BBM terhadap perekonomian.
Dari penelitian tersebut muncul data dimana bidang kesehatan mendapatan porsi kenaikan anggaran yang paling kecil, begitu pula bidang pendidikan. Sedangkan bidang Pertanian mendapatkan kucuran dana yang lumayan tambun.
[caption caption="Tabel aliran Realokasi Subsidi BBM, UGM"]
20 tahun kerja sebagai tenaga kesehatan di pinggiran sedikit banyak siapa yang curang dan mana yang jujur, serta suka duka dalam pelayanan.
Perangkat desa yang nakal dalam menentukan mana yang harus dapat dan tidak. Sering kali petugas kesehatan di tingkat bawah yang menjadi sasaran protes.
Jampersal sebenarnya solusi ideal, di mana semua ibu bersalin dijamin negara, mulai konsepsi sampai bayi umur 1 bulan. Tak pandangan bulu kaya atau miskin dicover, dengan screning (penjaringan) mau ditempatkan di kelas 3. Karena tidak semua orang mau ditempatkan dikelas 3, bila naik kelas gugur haknya. Namun juga tak jarang juga orang kaya mau ditematkan di kelas 3 biar mendapatkan gratisan. Program Jampersal ini sebenarnya dulu sudah berjalan dan mendapat apresiasi yang luar biasa. Tenaga kesehatan ditingkat bawah dan pelayanan tan lagi pusing mencarikan solusi bagi ibu bersalin soal pembiayaan, karena sudah tercover. Begitu pula ibu hamil, bersalin tak lagi harus berjibaku soal pembiayaan yang berakibat pada kejadian kematian. Karena kematian ibu bersalin dan kematian bayi baru lahir menjadi indikator derajat kesehatan suatu negara. Sayang program ini hanya berjalan tak berumur lama, pemerintahan Presiden SBY melebur menjadi BPJS.
Program BPJS yang serasa dipaksakan di akhir pemerintahan Presiden SBY banyak mengalami kendala dan keruwetan di pemerintahan setelahnya. Mulai dari mana yang berhak, samai mana yang tidak berhak, yang berawal dari pemetaan yang masih kalang kabut. BPJS mandiri yang harusnya menjadi solusi kabarnya malah menjadi biang BPJS merugi. Sistem dan perencanaan yang terlalu minim disinyalir menjadi kendala seperti sekarang.
Cerita tentang suka duka ibu melahirkan yang terkendala biaya, suka duka menjadi petugas kesehatan tingkat bawah yang harus pinter pinter mencarikan solusi dalam pembiayaan. Pengalaman para bidan di daeah untuk menganjurkan paa ibu hamil pada usia kehamilan 7 bulan dalam mengurus BPJS mandiri, agar saat persalinan tiba sudah tercover penjaminan kesehatan. Urusan setelahnya dibayar atau ndak yang penting saat persalinan sudah berbuat pengamanan. Ikut dulu setelahnya itu terserah.
 [caption caption="Pak Rimawan Pradiptyo, PhD menderangkan dengan detail"]
Pak Rimawan mengatakan kementrian harus pandai-pandai mencari terobosan, di mana manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat banyak. Tapi perlu diingat perlu kehati-hatian yang tinggi terutama pada pertangungjawabannya. Banyak kementrian yang masih bingung, dan belum bisa mnyerap dana tersebut, masalahnya sistem yang belum siap dan program yang belum jelas untuk apa dana sebesar itu. Maka dari itu pak Himawan gembira mendengar masukan yang saya berikan.Â