Ponorogo, 21 Juli 2015
Poto diatas saya jepret pada lebaran hari ke-2, di sekitaran lampu merah Kerun Ayu (Sukorejo Ponorogo) arah ke Wonogiri. Sama-sama menuju ke arah barat, saya naik motor berada dibelakang pik-up ini, penasaran karena penumpang didalamnya sedang dada-dada (melambaikan tangan) kepada saya yang berada dibelakangnya, saya berusaha menengok ke belakang seandainya saja orang lain yang disapanya dan bukan saya yang dimaksud disapanya.
"Mas.... mas..... " teriak lelaki yang berbaring didalam pik-up tersebut.
Lalu saya amati, perempuan tergeletak di dalama bak belakang pik-up yang dilapisi kasur usang, dan disampingnya suaminya, dan didekat pintu belakang tanpa pengaman nampak ayah perempuan tersebut berjaga. Tampak raut muka bahagia di ketiganya. Namun saya masih bingung siapa mereka kok mengenal saya?
Sementara bayinya digendong neneknya di bangku depan (samping sopir), untuk mengindari terpaaan angin. Karena mobil pik-up sewaannya minim fasilitas.
"Tindak pundi pak?" kata si bapak pada saya, yang menanyakan kemana tujuan saya.
Kalau tidak salah dia datang sehari menjelang lebaran, bersama 3 pasien yang akan melahirkan lainnya. Dia beruntung karena salah satu pasien ketika sampai rumah sakit sudah meninggal, diperkirakan meningal diperjalanan akibat komplikasi kehamilan yang menyertainya. Sementara satunya lagi harus bersedih karena bayi yang ia tunggu-tunggu sudah tidak bernyawa sebelum dilahirkan (IUFD). Ketiganya sama-sama rujukan dari fasilitas kesehatan ditingkat awal.
Program pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi tampaknya mengalami kendala, mungkin perlu pengkajian ulang untuk masalah tersebut. Masalah klasik pembiayaan, ketenagaan, dan situasi wilayah yang menjadi alasan atau kendala.
Masalah pembiayaan, seringkali menjadi hambatan seseorang atau ibu hamil untuk mendapatkan layanan akan kehamilanya, penghasilan mereka dirasa tidak mencukupi untuk pembiayaan kesehatan di tingkat lanjut. Meski ada program BPJS namun tidak serta merta semua tercover, meski ada pembiayaan secara mandiri namun beratnya iuran membuat mereka enggan untuk program ini. Sistem pendistribusian dan penjaringan tentang mana yang berhak dan mana yang tidak berhak seringkali meleset dari sasaran. Yang berhak tidak mendapat, sedangkan yang tidak berhak malah mendapat, begitu keluh dari kebanyaan dari mereka.
Dulu jaman presiden SBY  ada program Jampersal (Jaminan persalinan), namun menjelang berkhirnya pemerintahan beliau program tersebut dihapus (dilebur) menjadi BPJS. Dulu kreteria yang bisa menikmati Jampersal tidak terlalu ribet seperti BPJS, asal mau dirawat di kelas 3 semua gratis baik perawatan ibu, bayi, dan obatnya ditangung negara. Sebenarnya filter kelas 3 ini bisa memisahkan antara yang berhak dan yang tidak berhak, karena banyak sekali orang yang berkecukupan menolak ditempatkan di kelas rawat kelas 3 dan otomatis hak-nya dibiayai pemerintah akan gugur.