Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kerajinan Anyaman Bambu di Jaman Serba Plastik

16 Oktober 2014   04:24 Diperbarui: 4 April 2017   18:13 1998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Wondo membuat lingkaran dari bilah bambu buat frame rinjing.

Hari sudah menjelang magrib, namun Pak Wondo terus saja asyik mengirat (memenyayat) ruas-ruas bambu apus menjadi tipis dan lemas. Tangannya sangat cekatan merapikan dan menghaluskan pecahan bambu yang semula tebal menjadi semacam lingkaran sebesar ban vespa. Dan dengan cekatan pula dia segera menali lingkaran tersebut agar tidak budar (lepas). Lingkaran tersebut dipakai sebagai batas anyaman sekaligus pelindung anyaman agar tidak mekar, bobol (brodol), semacam frame yang berfungsi sebagai akhir dan pelindung anyaman.

14133788781000587029
14133788781000587029
Pak Wondo merapikan anyaman dengan memotong dengan gunting sebelum diakiri memakai gelang dari bilah bambu lebar (frame)

"Monggo to Mas, mbok masuk ke dalam...," Pak Wondo mempersilakan saya masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Namun saya menolak karena tidak ingin mengganggu dia menyelesaikan pekerjaannya. Saya lebih suka di luar sambil memperhatikan dia bekerja meski bau kandang kambing menyengat hidung. Maklum, Pak Wondo bekerja di teras samping dekat kandang kambingnya.

"Pripun jik rame rinjinge?" pertanyaan saya untuk menyambung pembicaraan.

"Sepi Mas, mboten jaman riyin wanci kulo numbasi delinge mbahe..." jawab Pak Wondo dalam bahasa Jawa, yang dalam bahasa Indonesia-nya, 'sepi tidak seperti dulu ketika saya sering membeli bambu apus dari ladang nenek saya'. Saya sudah kenal betul Pak Wondo. Ketika jaman tahun 80-an tiap pasaran Pon dan Kliwon, ia membeli bambu apus dari ladang nenek saya. Namun ladang bambu itu oleh Bapak sudah dibabat habis dijadikan sawah.

"Sakniki deling angel, lan nyadene nggih angel...," Pak Wondo menjelaskan bahwa sekarang ini bahan baku (bambu apus) sudah mahal dan jarang dan itu pun hasil kerajinannya juga tidak seramai yang dulu.

14133790481137508703
14133790481137508703
Bu Nyami mendapat upah 15 ribu per rinjing hasil anyamannya

Namun Pak Wondo tidak sendiri di Dusun Sawur Tegalrejo (Ponorogo) ini karena di sekitarnya dulu menjadi sentra pembuat kerajinan anyaman bambu di Ponorogo. Namun seiring dengan berkembangnya jaman, hanya tinggal 10-15 pengrajin. Pak Wondo masih beruntung karena mempunyai 4 orang yang menganyam. Salah satunya Bu Nyami. Bu Nyami mendapat upah dari Pak Wondo 15 ribu per rinjing. Bu Nyami tidak perlu beli bambu sendiri. Bambunya sudah disediakan Pak Wondo. Untuk rinjing butuh 2 potong ruas bambu yang panjangnya sekitar 1,5 meter dan seruas lagi panjang 1 meter untuk frame, serta satu lonjor rotan yang panjang 2 meter untuk tali frame.

Dalam sehari Bu Nyami bisa menyelesaikan 1-2 rinjing karena ini hanya pekerjaan sampingan selepas dari sawah. Namun itu sesuatu yang dirasa lebih dari cukup. Sedang Pak Wondo melepas rinjingnya per buah seharga 35-40 ribu.

14133791561868881980
14133791561868881980
Mas Kancil membuat dasar (awalan) dan selanjutnya dianyam oleh ibunya

Lain lagi dengan Mas Kancil. Dia mendapat bahan baku juga dari Pak Wondo berupa bambu lonjoran. Mas Kancil beli utuh dan dibilah-bilah sendiri dan dia kerjakan dengan istri dan ibunya. Dan setelah jadi dia setorkan ke Pak Wondo dengan harga Rp 30 ribu. Mas Kancil mengirat (memecah bambu) menjadi kecil dan tipis dan membuat awalan (dasar atau pola) dan selanjutnya anyaman akan diteruskan ibu dan istrinya. Dalam sehari, keluarga Mas Kancil bisa membuat rinjing 4-6 buah, dan potongan bambu apus yang pendek bisa dijadikan tompo (anyaman persegi yang ukurannya di bawah rinjing), pithi (buat mencuci beras), tampah, dunak, besek, dan sebagainya.

1413379381123187421
1413379381123187421
Tompo, dunak, pithi, tampak, kukusan, dan perkakas dapur lainnya

Menurut Pak Wondo, selain orang di sekitarnya, yang memakai hasil kerajinannya adalah orang-orang desa dan gunung. Mereka masih mengandalkan anyaman bambu daripada peralatan yang terbuat dari plastik. Selain awet, alat-alat dari bambu lebih praktis, dan mereka sudah terbiasa menggunakan sejak turun-temurun. Sebagai contoh, tempat nasi yang terbuat dari plastik akan cepat basi dibanding wadah nasi dari anyaman bambu. Karena wadah dari anyaman bambu lebih berongga membuat nasi tidak berkeringat. Orang desa pun menyukai makanan yang sudah dingin dibanding makanan yang masih panas. Begitu pula alat untuk mencuci beras, lebih praktis tinggal mengguyurkan air, beras sudah bersih. Begitu juga sayuran, alat dari anyaman bambu ini sekaligus bisa buat saringan. Hasil-hasil pertanian akan lebih praktis diwadahi dengan alat yang terbuat dari bambu daripada alat yang terbuat dari plastik atau logam. Hasil panenan tidak mudah busuk untuk 3-5 hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun