Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Geliat Cinta di Sunset-nya Parangtritis

27 Februari 2016   23:40 Diperbarui: 28 Februari 2016   08:17 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Muda mudi yang dilanda cinta di Parangtritis"][/caption]Aku hampir putus asa ketika langit terus saja mendung. Mendung putih dibatas cakrawala ufuk barat membuat Parangtritis tak ubahnya padang pasir gersang tanpa kehidupan. Semakin mendekati horizon, matahari seakan lepas dari jeratan mendung putih yang sedari jam 3 sore menggubalnya (melilit). Seharusnya hari semakin gelap, bila dirunut mendung sedari sore menggelayut. Lepasnya matahari dari gubalan awan membuat suasana menjadi terang benderang. Awan-pun kocar kacir dihembus angin kesana-kemari, hanya menyisakan silau yang luar biasa.

Aku berdiri beranjak, berniat tak menghantar matahari pulang ke peraduan. Percuma.... pikirku, tak ada yang bisa diharapkan, tak akan ada langit merah merekah, tak kan ada langit jingga atau ungu lembayung. Akupun melangkah menapaki bukit-bukit pasir yang berduri.

"Hore........ hore.......... matahari tenggelam......" teriak anak-anak seusia SMP berlarian menuju pantai. Jumlah mereka lebih dari sepuluhan. Akupun berhenti dan menoleh ke arah mereka berlari. Mereka saling foto, mereka berebut selfie. Riuh mereka meski tenggelamnya matahari kali ini tak menarik perhatian saya.

Mereka berlarian, berkejaran, dan sebagian dari mereka berebut mainan ayun. Hari semakin gelap dan mereka saling memisahkan diri, bereka berpencar dengan berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan.

Aku tak melanjutkan langkah, aku berhenti di bukit pasir yang tidak ubahnya seperti gundukan yang tak seberapa tinggi. Ada daya tarik tersendiri dari keriuhan mereka yang membuat langkahku terhenti. 

[caption caption="Bermain ayunan, berpasang mereka bergembira"]

[/caption] Riangnya anak seusia SMP dan SMA dalam menikmati tenggelamnya matahari di Parangtritis ini mengingatkan semua pernah muda. Muda jaman dulu dengan muda jaman sekarang tantangannya lebih berat sekarang, berkali-kali menelan ludah sambil bergeleng melihat gaya pacaran mereka.

Mereka berpelukan, bergandengan tangan, bahkan mereka saling beradu ciuman. Risih lama-lama memperhatikan mereka.

"Ora usah meri, sampeyan wis dudu jamane maneh yen koyo bocah SMP, gek kono jatahe sampeyan neng warungan kae.... tapi sing kae mbayar..." ujar tukang parkir.

Akupun belum paham maksud tukang parkir yang aku titipi motor sedari sore, dalam hati juga tertawa geli karena tukang parkir meledek saya agar tidak iri melihat muda-mudi seusia anak SMP yang dilanda cinta. Katanya lagi bukan waktunya lagi berbuat seperti mereka, kalau kepingin saya dianjurkan ke arah warung yang ditunjuk. Entah apa maksudnya.

[caption caption="kuning keemasan"]

[/caption]

[caption caption="luar biasa langit merah menyala setelah menelan matahari di Parangtritis"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun