Usianya tak lagi muda, namun semangatnya tak kalah dengan anak muda. Suaranya masih lantang menembangkan sholawatan yang diiringi “jedor”, terkadang lengkingan suaranya bikin tertawa tatkala memaksakan suaranya dengan sompret. Mbah Maruto meski usianya telah melewati 70 tahun tak mau kalah dengan anak-anak usia 10- an tahun yang juga berada dalam group seni gajah-gajahan yang dipimpinnya.
Seingat dia seni gajah-gajahan di daerahnya tercipta untuk menyaingi kesenian masal ketika menjelang peristiwa tahun ’65. Waktu itu orang-orang seni terbagi tiga, ceritanya.
Kelompok komunis, kelompok nasionalis, sedang dirinya berasal dari kelompok santri. Kelompoknya berasal dari anak-anak masjid di sekitaran pondok, tujuannya untuk menyaingi kelompok-kelompok yang anti agama kala itu. Jadi isi tembang-tembangnya bernafaskan keagamaan seperti sholawatan, intinya puji-pujian.
Untuk itu mbah Maruto bersikeras ikut parade gajah-gajahan yang digelar dalam rangka peringatan hari jadi kabupaten Ponorogo ke 529 tahun. Mengenang jaman sejarah, bangganya. Menurutnya lagi dulu seni gajah-gajahan beginian bisa bertaruh nyawa, dimana kelompok yang berseberangan tak segan-segan saling bentrok. Terjadi perkelahian massal, banyak yang luka, beda paham meski satu desa.
Kala itu dusunnya tak mampu menjangkau untuk membeli dadak merak, akhirnya orang di dusunnya sepakat membentuk gajah-gajahan. Yang membedakan dengan gajah-gajahan yang lain adalah, penunggang gajah seorang remaja yang berpakaian Jathilan. Tembang-tembang yang dipakai adalah tembang trend, misal tembang campursarinan dan dangdut koplo. Ada 2 pesinden yang ikut mengiringinya. Antusias penonton lumayan, orang yang terlibat juga banyak intinya sambil senang-senang.
Adalagi kelompok gajah-gajahan yang inti ceritanya adalah sindiran buat raja, gajah ibarat penguasa. Gajah-gajahan tersebut dinaikan perempuan, mengandung sindiran bahwa raja disetir oleh perempuan. Sehingga segala kebijakan dan keputusannya dipengaruhi oleh istrinya.
Keduanya berfungsi sebagai kaki yang membuat gajah-gajahan bisa berjalan. Sementara pengiring yang ada di belakang dan samping bertugas menyayi dan mengarahkan gerak gajah. Karena pemikul yang berfungsi sebagai kaki tak bisa melihat depan karena berada di dalam tubuh gajah-gajahan. Sedang orang yang usianya tua bertugas menuntun gajah-gajahan dengan memegang tali yang terlilit di leher gajah-gajahan. Begitu juga di belakang gajah-gajahan ada orang tua yang bertugas seperti penggembala membawa cemeti.
Terakhir adalah penabuh jedor dan gamelan, dari bunyi alat ini bisa diketahui kapan gajah-gajahan harus goyang bokongnya ke kiri atau ke kanan. Dari bunyi gamelan ini menandakan Japan gajah-gajahan harus berjalan dan berhenti.
Ciri khas kesamaan gajah-gajahan adalah, replika gajah itu sendiri, toa pengeras suara, pemikul, dan jedor.
Apapun alur ceritanya mereka tidak saling menyalahkan. Sebenarnya gajah-gajahan sudah ada sebelum Kakek bahkan buyut para peseni gajah-gajahan ini. Puluhan gajah-gajahan dari perwakilan kecamatan di kabupaten Ponorogo tersebut digelar dalam rangka peringatan hari jadi kabupaten Ponorogo ke 520. Urusan pakem itu relatif, katanya.
Seni gajah-gajahan sering disebut seni jalanan, karena berjalan menyelusuri jalanan kampung.