Ini kali ke 4 berziarah ke makam Syeh Maulana Magribi yang di Parang Tritis Yogyakarta, setelah hampir 15 tahun lebih tidak kesana. Semua sudah berubah baik jalan menuju kesana yang tadinya akses nyaris hanya lewat Yogyakarta, kini jalur mulus dan asri lewat jalur lintas selatan (Pacitan-Wonosari-Panggang-Parangtritis) terasa sesansi yang luar biasa, terutama ketika hari mulai gelap dan hembusan udara dingin sepanjang pesisir pantai selatan dan suara riuhnya ombak yang menderu di sisi kiri jalan, mulusnya jalan menghemat waktu tempuh yang kalau ditempuh jalur lewat Solo bisa mencapai 5-7 jam dan lewat jalur Wonosari Gunung Kidul cukup 3,5 -an jam.
Begitu juga bangunan disekitar makam, baik sekitar gapura masuk (bawah) sampai jalan setapak menuju ke atas (bukit area makam), banyak hotel, rumah makan, dan tempat hiburan, lalu lalang kendaraan maupun para pengunjung mencari hiburan di kaki bukit.
Jalan setapak menuju bukitpun sudah diperbaiki, pagar besi ditengah bisa difungsikan sebagai pembatas bagi peziarah yang menuju atas dan kembali dari atas, pagar besi ini pula difungsikan sebagai pegangan untuk mengantikan tongkat, karena terkahir kesana (15-an tahun lalu) harus membawa tongkat untuk membantu menapak dan menyanga badan.
Lampu penerangan dipasang sepanjang jalur setapak, tak harus membawa lampu senter ketika malam seperti dulu lagi. Tempat wudlu dan masjid-pun sudah dibangun diatas, persis disisi tenggara cungkup makam utama. Tampak pula balai-balai yang bisa menampung ratusan jamaah, balai-balai ini mirip serambi masjid atau bahkan mirip pendopo rumah adat Jawa.
Hanya 2 bangunan yang tidak berubah gedong (cungkup makam) dan bangunan di kanan makam yang dulu ditempati bila ada peziarah yang bermukim, atau dulu difungsikan sebagai gudang.
Jalan menanjak bertingkat-tingkat serasa menguras tenaga, udara dingin tak mampu membendung derasnya keringat dan dadapun yang tersengal-sengal seakan kehapisan udara.
"Dari Ponorogo ya den....." sapa jurukunci tersebut. Entah dari mana dia kok tahu kami berasal dari Ponorogo, mungkin logat bicara kami medok khas berbeda dengan Yogyakarta.
"Monggo langsung pinarak langsung mlebet, sampun dirantos..." katanya lagi, yang menambah kami bertambah bingung dan kamipun langsung masuk ke dalam, dan segera melakukan tahlil berjamaah, dan selesai mendoakan yan sumare (yang dimakamkan) kami keluar cungkup, menemui juru kunci.
Dan saling ngobrol dengannya, juru kunci mengatakan tadi pagi ada yang telepon kalau jam 11 malam ada tamu dari Ponorogo yang meinta izin untuk berziarah, menurutnya lagi rombongan 6 orang. Dan kamipun saling pandang dan semakin bingung, karena diantara kami tidak pernah menelepon, dan diantara kami baru saya saja yang pernah ke sini. Kamipun diam tidak membantah atau mengiyakan, takut salah.
"Tumben sepi pak?" tanya saya, karena barusan saya lihat di buku tamu dihari sebelumnya rata-rata pengunjung diatas 50-an orang perhari.
"Ndak tahu juga den, biasanya meski malem minggu nggih rejo, duko dinten niki wau, kadose sing rejo namung ngandap mriko...." sambil tangannya menunjuk ke arah bawah tempat lampu-lampu berkelap-kelip, dan sayup-sayup suwara musik disco dan dangdut saling bersautan.