Wonogiri, 31 Desember 2015
Ada hutan jati di daerah Slogohimo Wonogiri yang masih terjaga, terjaga baik kelestariannya maupun kesakralan-nya. Untuk mendapatkan atau menyaksikan pohon jati raksasa yang berusia ratusan tahun tersebut kita tidak usah jauh-jauh atau bersusah-susah masuk hutan belantara yang sulit medannya. Alas Donoloyo yang berada di wilayah timur kabupaten Wonogiri ini masih menyimpan pohon-pohon jati yang besarnya (diameter) mencapai 3 kali pelukan orang dewasa.
Legenda setempat menganggap Alas Donoloyo ini adalah tempat yang sakral, tidak seorangpun warga yang berani mengotak-atik apalagi merusak tumbuhan jati raksasa di komplek ini. Tidak ada warga sekitar yang berani berbuat tidak senonoh ketika berada di hutan ini atau ketika melintas hutan ini. Berbagai cerita kejadian menimpa mereka yang berbuat tidak senonoh ataupun merusak kawasan ini.
Pihak perhutanipun sebagai pihak penanggung jawab kelestarian hutan merasa diuntungkan, karena budaya dan legenda setempat begitu menyakralkan tempat ini, otomatis beban Perhutani dalam melindungi hutan dari pencurian minim. Ranting-ranting kering yang berjatuah saja tidak ada yang berani mengambil apalagi menggangu pohonnya, kata pak Wardi salah satu warga yang kemarin saya ketemui di Kuncen.
Pak wardi menceritakan, dulu para wali pernah mengambil salah satu pohon jati disini yang sedianya dibuat soko guru untuk masjid Demak Bintoro, kayu tersebut dipilih dan ditebang dan dihanyutkan melalui jalur bengawan Solo, sesampai di Demak kayu tersebut dianggap cacat oleh salah satu utusan keraton, dianggap cacat karena ada lubang. Dalam seketika kayu jati tersebut kembali ke tempat alas Donoloyo ini tempatnya tumbuh, cerita pak Wardi.
Masih menurut pak Wardi kayu tersebut sekarang masih ada wujudnya berada di hutan sisi barat, oleh orang sini disebut Jati Mbegot, Jati Njegot, terkenal pula dengan sebutan Jati Brontak. Banyak orang yang menganggap kayu tersebut mustajab buat penyembuhan ataupun senjata.
Mbegot dalam bahasa Indonesia bearati diam karena kecewa, begitu juga Njegot diam tanpa bicara, tanpa bergerak namun menyimpan amarah. Brontak artinya memberontak. Ini semacam simbol perlawanan orang kecil terhadap pejabat pemerintahan.
Hubungan tempat ini dengan keraton sering kali masyarakat sini secara batin masih terjaga, seperti halnya seminggu sebelum Sri Paku Alam wafat terjadi gempa yang berasal dari barat daya dari lokasi ini. Menurut pak Wardi gempa tersebut berasal dari daerah Bantul dan sekitarnya, dan 7 hari kemudian beliau wafat. Begitu juga ketika terjadi letusan gunung Merapi, orang sekitar Donoloyo ini juga mendapat petunjuk akan terjadinya bencana.
Rumah yang berwarna hijau itu milip Perhutani, selain sebagai tempat pertemuan juga difungsikan untuk para peziarah untuk istirahat ataupun berteduh.
Dibelakang rumah hiujau ini ada rumuah kecil yang mirip dapur dari kayu bakar, disitu disedikan peralatan masak dan membuat minuman. Kata Pak Wardi disediakan buat mereka yang bermukim disini, buat mereka yang tirakat dan mau memasak atau membikin kopi.