Di HUT Pariwisata kali ini Dinas Pariwisata kabupaten Ponorogo mengadakan ivent, selain grebeg syuro yang bulan depan sudah dimulai, tadi malam di adakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk  di alun-alun Ponorogo, kali ini Ki Dalang Guno Carito dari Solo.
Pagelaran ini dihadiri bupati, wakil bupati, Â jajaran muspida serta undangan dara beberapa elemen pemuka masyarakat di Ponorogo.
Sangat menggelitik ki dalang dengan luwesnya menyindir sana menyindir sini, namun para undangan malah terbahak tertawa dan hanyut dalam cerita, dengan halusnya pesan moral serta kiritikan dia sampaikan tanpa menusuk perasaan. Buktinya undangan serta penonton tertawa terbahak-bahak ketika adegan lucu ditampilkan.
Isue-isue hangat seperti hasil Pilkada Tidak Langsung, tentang kemenangan Jokowi dia kemas dengan baik, dan undangan yang beragam dari berbagai warna (warna politik). Begitu juga suasana politik lokal Ponorogo juga ikut disentil, dan yang disentil cuma senyum-senyum, mereka tetep duduk bersama dan menikmati pagelaran wayang sampai jam 1 an malam. Yang intinya mengajak untuk kembali bersatu untuk membangun kembali negeri yang dilanda badai politik seperti kali ini.
Meski rasa kantuk yang luar biasa dan terpaan angin malam tanah lapang alun-alun, tidak mengurangi hasrat untuk mengikuti cerita sampai selesai, jeprat sana jepret sini  sambil telinga terus dipasang mengikuti cerita.
Kisah ini dimulai ketika para dewa di Khayangan mengisyarakat kepada penduduk bumi adanya Mahkota yang kelak disebut Sri Batara Rama. Dan bagi siapa saja yang bias mendapatkan mahkota itu, akan menjadi sakti mandraguna, dan kelak dari pemilik mahkota ini akan menurunkan  raja-raja turun temurun di dunia (Wahyu Makutarama)
Ada du kubu yang yang memperebutkan, yaitu pihak Astina dan dan pihak Pedhowo
Pihak Astina diwakili Adipati Karno yang mendatangi Begawan Kesawasidi untuk meminta wahyu tersebut, namun sang Begawan mengatakan tidak memilikinya, dan membuat Adipati Karno marah dan memanah sang Begawan, melihat sang Begawan di panah Hanoman sebagai murid cepat menyelamatkannya dengan jalan menangkap anak panah tersebut, namun ini malah membuat sang Begawan tersinggung, karena Hanoman dianggap meragukan keahlian dan kesaktian gurunya. Di cerita ini sangat pelik yang diakhir cerita muncul pecundang sekaligus muncul pahlawan-pahlawan pembela negaranya, dan penuh tipu muslihat serta kelicikan, serta kesalah pahaman seprti yang dialami Adipati Karno dan Hanoman.
Ewuh dan pekewuh, dan serba salah menghiasi cerita wayang ini, misalnya Begawan Wibisino adik Rahwana yang membela negaranya yang harus bertempur dengan Begawan Kesawasidi  (titisan Rama) bekas junjungannya dulu.
Dan beratnya Kumbokarno (dipihak jahat) yang ketika mati sukmanya harus menyatu dengan pihak musuhnya (Bima) agar bisa kembali ke alamnya dengan sempurna
Munculnya Arjuna yang berupaya juga mendapatkan Makutarama, dengan sembunti-sembunyi pergi dari istana dan menyamar menjadi pendeta untuk menemui Begawan Kesawasidi sesuai wangsitnya selama menjalani semedi.
Begawan Kesawasidi tahu dari tanda-tanda keilmuanya bahwa Arjuna inilah yang berhak menerima wahyu. Karena sudah bertemu dengan yang berhak maka sang negawan memberikan wahyu tersebut, dan mengatakan pada Arjuna bahwahyu tersebut bukan berupa benda akan tetapi ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin yang kelak Asta Brata.
Dari cerita tersebut kita bisa memposisikan diri ada dipihak mana, kelompak merah atau putih, kelompok jahat atau baik, sebagai pahlawan atau pecundang, dari setiap adegan dan berbagai peran tokoh pewayangan.
Dalang punya cara tersendiri dalam mengingatkan pemimpin maupun menyentil, dalang punya cara aksi tersendiri buat negeri, tentu kita juga punya Aksi juga buat Indonesia.
"Tunjukan aksi anda buat Indonesia"
*) Salam Njepret
*) Salam Budaya
*) Salam Reformasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H