Sudah sekitar 3 hari ini jalan depan paseban kabupaten Ponorogo menjadi lautan manusia.
Aksi yang berawal dari spontanitas oleh salah satu group reyog karena geregetan atas kabar klem Malaysia atas seni reyog. Geregetan sendiri bisa diartikan jengkel, marah, geram, ataupun gemes.Â
Aksi spontanitas ini mendapat  sambutan luar biasa dari masyarakat yang lewat, ibarat dengar gamelan saja mereka berkumpul apalagi ada pagelaran.
Pertunjukan dadakan tanpa make-up dan tanpa persiapan khusus sehabis sholat taraweh. Begitu keluar dari masjid masyarakat segera merangsek kearah suara gamelan.
Alasan lain semenjak pandemi covid-19 pertunjukan reyog nyaris tidak ada. Kerinduan luar biasa akan pertunjukan dan tontonan menjadikan antusiasme tak terelakan.
Pada hari pertama hanya 2 dadak merak, pada hari kedua 4 dadak merak, dan semalaman ada 6-8 dadak merak.
Menurut bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, usaha untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO tidak kurang kurang. Sejak bupati amin sudah didaftarkan saat perhelatan 100 dadak merak di alun-alun. Begitupun saat bupati Ipong, kabar pengakuan dari UNESCO sempat beredar. Puncaknya pada masa bupati Sugiri ini kabar klem Malaysia kembali santer dan ternyata belum terdaftar di UNESCO.
"Reyog kalah sama jamu, kami tidak kecewa tapi nelongso. " kata Kang Giri, panggilan akrab bupati Ponorogo. Ungkapan Kang Giri langsung disambut dengan lagu-lagu perjuangan dan kibaran bendera merah putih yang diiringi gamelan reyog.