Hampir 20-an tahun saya tidak berkunjungan ke makam Eyang BRAy Kusumonarso di dusun Keblokan desa Sendang Ijo, Selogiri Wonogiri. Terakhir dengan almarhum guru saya Kyai Suyadi Ali.
Saya ambil wudhu sembari sholat ashar di mushola tak jauh dari makam Mbah Mblok, sepasang makam di bawah pohon asam sebelum menuju Makam Eyang BRAy Kusumonarso. Mbah Mblok Kakung dan Putri ini dipercaya penderek beliau, sehingga peziarah sering mampir dulu di makam ini. Mungkin semacam melewati pintu ini dulu sebelum masuk ruang utama, mungkin juga seperti ketemu pengawalnya dulu sebelum ketemu bosnya.
"Dari Ponorogo mas? " tanya seseorang yang keluar dari balai cungkup utama makam. Dalam hati kok tahu dia, kalau saya dari Ponorogo? Ah saya berandai-andai, ah mungkin juga dari plat kendaraan yang saya kendarai.
Dia adalah pak Kasih Ariyanto, juru kunci baru pengganti sebelumnya. Dulu juru kuncinya pak Wirodimedjo. Sama-sama akrab dan hangat. Karena hari semakin gelap saya segera masuk untuk berziarah, takut azan magrib segera berkumandang.
Eyang BRAy Kusumonarso adalah sosok perempuan tangguh yang teguh pendiriannya pada agama, patriot sejati, dan benar-benar menjadi tauladan seorang ibu. Layak menjadi pahlawan nasional perempuan. Dan menjadi tonggak bangkitnya seorang ibu-ibu, dan sangat pantas mendapatkan ucapan "Selamat Hari Ibu" di setiap 22 Desember seperti sekarang ini.
Saya masih ingat kali pertama diajak ziarah ke sini oleh Kyai Suyadi Ali, selain mendoakan kita meneladani perjuangan dan sumbangsih beliau pada agama dan negara. Tak hanya harta benda, tahta, keluarga, tapi nyawa pun dipertaruhkannya. Beliau rela berpisah dengan suaminya yang beda prinsip, Amangkurat IV yang pro Belanda yang mengkhianati bangsa dan agamanya.
Sangat layak jika di hari ibu kali ini kita mengucapkan pada beliau. Banyak tonggak sejarah kebangkitan perempuan atau ibu di Indonesia, banyak pejuang pejuang perempuan di Indonesia. Puncaknya ketika Kongres Perempuan pertama yang digelar pada 22-25 Desember 1928. Setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Ini sejarah Indonesia bukan sejarah yang mengekor pada budaya internasional, sehingga begitu mudah diharamkan oleh beberapa pihak belakangan ini.
Beliau wafat di sekitar Kampung Seneng, daerah hutan Kethu . Pesan beliau kepada kerabat dan pengikutnya, untuk terus berjuang dan kelak jika ia meninggal dunia, jasadnya supaya dilarung di aliran sungai Bengawan Solo. Dimana rakit itu berhenti di daerah tersebut, beliau minta dikebumikan.