Jarwoto sabar menunggu di parkiran puskesmas Sukorejo, meski petugas puskesmas sudah berkali-kali memanggilnya untuk segera masuk ruang klinik. Dia enggan masuk karena di dalam klinik masih ada orang desa Mirah yang masih diberikan pelayanan. Jarwoto sendiri adalah warga desa Nggolan yang bersebelahan dengan desa Mirah yang masih satu kecamatan Sukorejo.
Beberapa waktu yang lalu kata petugas parkir ada orang Nggolan tiba-tiba nggeblak, terjatuh tak sadarkan diri. Menurut petugas parkir, tak sengaja ada orang Nggolan dan orang Mirah yang tak sengaja duduk bersama di ruang antrean.
Situasi seperti sudah menjadi rahasia umum, dan disadari oleh warga kedua desa. Dalam kendaraan umum, dalam satu resepsi hajatan, dalam suatu pertemuan mereka pantang bertemu meski tidak bermusuhan.
Kepercayaan seperti ini masih dipegang teguh sampai saat ini, bertemu saja tidak berani apalagi menjalin asmara ataupun bersatu dalam pernikahan. Masyarakat Golan pantangan menikah dengan orang Mirah.
Banyak cerita lucu tentang kedua desa ini, sungai yang mengalirpun airnya tidak mau menyatu. Begitupun saat ada hajatan bila ada orang Golan di tempat jajanan orang Mirah jadi malapetaka, begitu pula sebaliknya.
Menurut Pak Dirman tokoh reog di Ponorogo, ada cerita yang melatarbelakangi kepercayaan tersebut.
Di desa Golan ada makam atau petilasan yang banyak diziarahi warga. Makam tersebut adalah makam Ki Onggolono. Semasa hidup, dia adalah tokoh yang disegani dan memiliki kesaktian. Dia adalah orang kepercayaan Ki Gede Surya Ngalam atau Ki Ageng Kutu yang berseberangan dengan Betoro Katong Raja Wengker cikal bakal kabupaten Ponorogo.
Seperti kisah Romeo dan Juliet, anak laki-laki Ki Onggolono yang bernama Joko Lancur menjalin cinta dengan Amirah anak perempuan Ki Ageng Mirah. Karena perbedaan keyakinan kedua orangtuanya, hubungan itu berakhir dengan kematian.
Sejak itu ada pantangan warga desa Golan tempat tinggal Ki Onggolono dan warga desa Mirah asal Ki Ageng Mirah untuk menikah.