Tahun 70-80an adalah masa emas usaha batik di Ponorogo. Ada 2 pabrik mori (kain bahan batik) yang masih bertahan sampai penghujung tahun 90-an.
Pabrik yang berproduksi selama 24 jam nonstop. Lonceng selalu terdengar saat pergantian shif, dan saat itulah jalanan dipenuhi karyawan berseragam biru untuk bawahan dan biru ndog bebek untuk atasan.
Banyak rumah besar dan beratap tinggi bercorak Eropa, rumah tersebut milik para juragan batik menjadi saksi. Jalan-jalan dengan nama batik, di sekitaran kota lama. Serta koperasi batik dan gedung serbaguna guna milik koperasi batik masih kokoh kalau dulu Ponorogo menjadi pusat batik di wilayah Mataraman.
Geliat muncul lagi sekitar 10 tahunan terakhir. Batik tulis dan batik cap, namun kondisinya-pun tersendat.
Event yang digelar oleh dinas pariwisata tersebut diharapkan menjadi babak baru per-batikan yang pernah jaya. Banyak pengusaha batik di wilayah Mataraman (Karisidenan Madiun dan Karisidenan Kediri) berkumpul memamerkan batik masing-masing produksinya.
Acara seperti sangat bermanfaat menurutnya, bisa mengenalkan hasil karyanya. Kali dia membawa 8 model untuk bawakan kreasi batik lukisnya. Bersyukur akhirnya pemerintah memfasilitasinya lewat gelaran seperti ini.
Penampilan wakil dari Ngawi memukau, model berpasangan memakai batik Enjang Pelangi. Busana yang dirancang oleh Rhiana Putri desainer muda dari Ngawi tersebut mendapat apresiasi luar biasa.
Wakil Bupati Ponorogo Drs. H. Soedjarno, M.M. menuturkan acara ini digelar bertujuan mendukung pelaku industri batik agar lebih memperkaya desain maupun motif.
Wakil bupati juga menjanjikan acara seperti ini akan menjadi kalender tetap untuk mendukung dunia pariwisata di Ponorogo. Sehingga batik menjadi salah satu alasan orang datang ke Ponorogo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H