Dunia fotografi terus berkembang, baik dari sisi peralatan maupun tren.
Itu jawaban mas Yuyung Abdi ketika menjawab pertanyaan dari teman kami. Mengapa fotografi dipelajari hingga jenjang doktoral seperti yang baru saja diselesaikannya.
Banyak fotografer yang sudah jago, tapi ketika ditanya warna apa yang dijepretnya, mereka geleng kepala. Apa filosofi warna, apa alasan memadukan warna, sampai warna itu berpengaruh apa pada orang yang melihat warna. Itu baru soal urusan warna dan masih banyak lagi hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh para fotografer otodidak.
Sekarang mulai ada wedding jurnalisme, ada wedding street dan banyak lagi perpaduan. Bagaimana foto bisa mengabadikan saat-saat sakral, yang diambil secara natural, secara candit. Tanpa dibuat-buat apa adanya. Bagaimana ekspresi, bagaimana reaksi tak terduga dibalik layar yang selama ini tidak terdokumentasikan.
Bagaimana keseruan di dapur, para ibu-ibu sedang mempersiapkan hidangan. Terutama acara-acara di daerah yang masih kental dengan adat dan budaya. Rasa kegotong-royongan dalam persiapan hajatan.
Saya jadi teringat pernah dimintai tolong motret acara hijab kabul anak dari pimpinan tempat saya bekerja. Awalnya saya menolak karena acara sakral, dan hijab kabul gak bakalan diulang lagi di lain waktu.
"Bu jangan saya, biar teman saya saja yang terbiasa wedding-an." Jawab saya kala itu. Namun beliau bersikukuh tetap saya yang motret.
"Bu.. ijab kabul itu dalam hidup cuma sekali, kalau fotonya jelek takut lain waktu lain waktu diulang ijab kabulnya.." kata saya waktu itu.
Pimpinan saya cuma jawab, asyeeeeeeeem sambil tersenyum.
Tak tahu apa alasannya setelah itu saya dimintai tolong untuk motret momen- momen seperti itu. Padahal sudah ada fotografy resmi dalam acara tersebut.Â
"Aku potretkan seperti acara di pernikahan Bu Shanty.." kata pak Setyo. Begitu juga pak Enggar di kemudian hari.
Apa sih yang saya potret? Foto-foto candid, situasi hiruk-pikuknya hajatan. Yang luput dari jepretan fotografer yang memotret temanten dan acara resepsi.