Jariyem (64) mengumbar senyum, jemari tangannya yang berlepotan masih terampil. Kaki kirinya terus digoyang-goyang maju mundur yang berfungsi menggerakkan pedal agar tatakan lumpur biar berputar.
Tanpa ukuran dan tanpa cetakan satu persatu kendi berhasil diselesaikan nyaris tanpa beda. Sebuah kendi hanya butuh 5-an menit. Peralatan sangat sederhana, berupa tatakan yang dikasih leker bekas, dan tautan kan tali pada kayu dan digantungkan pada tembok dapurnya yang belum sempat dilepo. Sementara tanah yang sudah jadi adonan, ditaruh disebelah kanannya agar mudah dijangkau.
Sesekali perempuan paruh baya ini menyeka keringatnya, bukannya semakin bersih namun malah semakin kotor karena tangannya sudah berlepotan lumpur. Tak hanya kendi yang bisa dibuatnya, lemper, asbak, celengan, cangkir tanah, pot bunga, kekep, kereweng, bahkan kuali dari tanah liat.
“Pokoke bunder kulo saget ndamel, mergine alate kudu munyer.” Kata Jariyem sambil terus menyelesaikan pekerjaannya. Asalkan bentuknya bulat bisa dibikinnya karena membuatnya berputar.
Semangatnya masih tinggi meski gerabah yang digelutinya sudah tak menjajikan. Sekeras apapun di bekerja uang yang dihasilkan tak lebih 30 ribu. Sehingga alasan inilah anak-anaknya tak ada yang tertarik meneruskan usahanya.
“Mendingan kerja di Surabaya mas.” Kata anak sulungnya yang kebetulan pas pulang menjenguknya.
Harapannya masih muluk, tatkala teman-temannya sesama pengrajin sudah meninggalkan usaha gerabah. Dulu hampir saban rumah mempunyai peralatan untuk membuat gerabah. Setelah gerabah tidak menjanjikan para tetangganya lebih konsentrasi menjadi petani.
Sebelum tahun 1990-an usaha gerabah masih menjanjikan. Dari hasil gerabah dia bisa membeli tanah dan sawah. Dari usaha gerabah dia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.
Cintanya pada gerabah tak pernah kendur, karena dari gerabah dia bisa menyambung umur meski kondisi sekarang sudah jauh berbeda.