Sekilas rumah besar yang berisi kayu berbagai bentuk milik Pak Jemikun tersebut tak ubahnya seperti gudang. Gudang yang hanya menyimpan barang-barang yang sudah tidak dipakai, tidak berharga, atau mungkin pemiliknya sudah bosan sehingga ditumpuk begitu saja memenuhi gudang. Bahkan sebagian dibiarkan saja di pingir jalan disandarkan pada tembok di atas selokan yang diberi penghalang. Kayu kusam kehitaman sebagian berlubang atau keropos dimakan jaman.
Kayu-kayu bekas bongkaran rumah kuno yang hampir semuanya bermodel joglo dengan tiang penyangga yang besar-besar. Model boma (gebyok) dengan berbagai jenis ukiran dan motif. Berbagai jenis daun pintu dengan berbagai ukuran dan model. Berbagai mebel kuno berupa meja, kursi, almari, dan tempat tidur kuno. Berbagai pernak-pernik hiasan dinding atau alat kerja rumah tangga yang berbahan dasar kayu jati. Semuanya untuk apa?
Kesan di atas adalah kali pertama saya ketika sore tadi diajak Nidhom Fauzi ke gudang milik Pak Jemikun Desa Lembah Babadan Ponorogo.
“Kualitas kayu bekas bongkaran rumah kuno jauh lebih bagus dan kuat dibanding kayu sekarang, Mas. Kayu ini sudah berusia 2 ratusan tahun.” jelasnya. Katanya rumah yang dibeli orang Solo ini sudah turun-temurun 5 generasi, bila satu genarasi berusia 80 tahunan tinggal mengalikan 5, berarti 200-400 tahun.
“Mas, ini gebyok jaman Islam belum masuk Ponorogo. Artinya ini jaman sebelum Raden Katong di Ponorogo. Ukirannya masih bermotif hewan buas dan buto cakil dalam pewayangan,” tunjuk Nidhom menjelaskan.
“Sedangkan ini model gebyok yang sudah ada pengaruh Islam, buto cakil dan hewan dikombinasi dengan bunga-bungaan, dan yang di sana itu sudah bermotif merak dan bunga berarti jaman pengaruh reyog sudah ada di masyarakat kala itu…,” jelas Nidhom.
Pak Jemikun tak perlu berkeliling mencari rumah bongkaran atau rumah kuno, karena saban hari ada orang yang datang menawarkan rumah. Rumah-rumah yang dijual di sini adalah rumah joglo atau rumah limasan. Yang berusia lebih seratus tahun. Sedangkan para pembeli lebih banyak dari luar kota, terutama Jawa Tengah dan Jakarta. Para pembeli dari Jawa Tengah dan Jakarta ini konon mengekspor ke berbagai negara di Eropa dengan keuntungan berlipat-lipat.
Menurut Nidhom yang sehari-hari mempunyai bengkel pelitur, perkakas kayu yang mirip sampah ini bisa dibersihkan dan dibuat hiasan dinding atau keperluan lainnya.