Tak seperti biasanya Murti segembira kali ini. Dia memakai kacamata dan sepatu berhak meski sudah butut. Gayanya seperti orang punya. Begitu juga cara berbicaranya, berbahasa Indonesia mirip pembantu rumah tangga yang sudah lama tinggal di Jakarta.
“Mbak sepatune dicopot no,” kata istri saya dari ruang praktik. Istri saya mengingatkan Murti dengan bahasa Jawa, bahasa yang biasa dipakai Murti saban memeriksakan kehamilannya. Murti adalah perempuan desa yang lugu dan sopan, bersuamikan lelaki yang berpaham keras dan temperamen.
“Ndak mau... Pokok ndak mau... Apa ada SPO periksa hamil harus lepas sepatu...," protes Murti menggunakan bahasa Indonesia.
“Nduk awakmu rodo semlenget to?” tanya istri saya. Kata semlenget diartikan 'panas badannya'. Sering kali orang yang sedang panas badannya kalau bicara mengigau, melantur tanpa kontrol.
Seminggu sebelumnya, istri saya menyuruh Murti untuk USG kehamilannya ke dokter obsgyn. Hasil pemeriksaan palpasi dua bulan yang lalu kehamilannya sungsang. Sudah diajarkan menungging dan sebagainya agar posisi bisa kepala.
“Hasil USG endi nduk?” tanya istri saya.
“USG itu ndak boleh oleh agama, mendahului kehendak Allah...,” jawab Murti tangkas.
Akhirnya istri saya keluar dari ruang praktik menemui saya yang saat itu sedang lihat televisi.
“Mas, apa yang terjadi pada Murti?” tanya istri saya, lirih.
“Murti terkena sindroma baby blues,” jawab saya.
“Baby blues itu kalau pasca melahirkan, ini kan belum," kata istri saya.