Lasikun lebih banyak diam, begitu juga Narsih istrinya. Selepas bersalaman, mereka langsung duduk. Istrinya duduk di kursi panjang berdampingan dengan istri saya. Sedangkan Lasikun di sisi sebelah barat.Â
"Monggo didahar..." saya mempersilakan kepada mereka untuk mencicipi kue lebaran yang kami persiapkan di meja tamu. Mereka hanya mengangguk tanpa kata. Tak seperti biasanya mereka diam terlebih di saat lebaran begini. Hampir seperempat jam saya dan istri hanya basa-basi menawarkan makanan yang ada, lagi-lagi mereka hanya mengangguk.
"Bu... Endang ora sido jejodoan kato Heru..." mulut narsih akhirnya terbuka juga.Â
"La nyapo?" tanya istri saya atas pernyataan Narsih tentang perjodohan Endang anaknya dan Heru.
Heru adalah lelaki pilihan Endang yang dikenalnya karena kakak perempuan Heru menjadi anak angkat keluarga kami.
"Sakjane abot bu.. keluargaku wis kadung seneng menyang Heru, lan keluarganya Heru yo kebacut seneng menyang keluargaku..." kata Lasikun, saya dan isteri hanya mengangguk menunggu mereka selesai bercerita. Terasa berat karena keluarga ke dua belah pihak sudah terlanjur suka dan akrab.
"Riyoyo 3 dino wingi Heru badan, ngomong yen kelahirane Senen Wage..." lanjut Lasikun, dikatakannya kalau hari raya ke 3 Heru bersilaturahim kepadanya, Heru mengatakan kalau hari pasaran kelahirannya Senin Wage.Â
Narsih terus menangis sesenggukan saat suaminya mengatakan hari kelahiran Heru Senin Wage. Mereka bersedih tapi saya dan istri masih bingung.
Karena setahu kami Heru dan Endang saling jatuh cinta, Endang bisa menerima Heru apa adanya. Kejujuran dan keluguan Heru sudah memikat Endang dan keluarganya. Meski saban hari Heru bekerja di pabrik kerupuk di dekat rumahnya. Sebelum Endang berangkat menjadi buruh migran dia telah sepakat dengan Heru untuk saling setia dan menunggu. Begitu kedua orang tua masing-masing sudah memberi lampu hijau untuk hubungan mereka lebih lanjut.
Tapi mengapa gara-gara hari pasaran kelahiran Heru yang Senin Wage semua jadi berantakan??
Saya dan istri terus menunggu mereka bercerita.