Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merah, Kuning, Biru Sehabis Hujan di Sudut Kota Gede

11 Mei 2016   11:19 Diperbarui: 11 Mei 2016   11:36 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

perempuan dan lelaki bermotor

Hujan baru saja reda, meninggalkan hawa dingin dan uap air yang menghalau pengapnya malam. Motor kami terus melaju menelusuri jalan-jalan di sudut Kota Gede.

"Terus om... kita parkir di penitipan saja." kata mas Rob Januar. Kami berboncengan keliling menghabiskan malam. Motor kami titipkan di parkiran depan gerbang. Tak ada agenda tak ada rencana, kami bertemu begitu saja. Kami lelaki yang berkalung kamera, kemanapun kamera kami anggap senjata.

Tanpa komando kami berpencar, kamera telah ada dalam genggaman. Saya tak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran mas Rob, dia terus memotret begitu juga saya.

Semakin malam semakin sepi, hanya sesekali motor berlalu. Lelaki bermotor berhenti dan bicara dengan perempuan di pinggir jalan, setelah itu mereka berboncengan untuk pergi. Peristiwa yang sama berulang, mungkin di tempat ini sudah begitu tiap malamnya. Sekilas saya tahu apa yang hendak mereka kerjakan, tapi biarlah. Saya tidak berusaha menjepret mereka, ada perasaan terlalu mencampuri urusan mereka. Tidak mau menggangu privasi mereka, pikiran saya malam itu. Atau mungkin saya belum punya ketertarikan menjepret yang mereka lalukan, belum tahu konsep cerita tentang mereka. Maklum semua berjalan begitu saja, mas Rob datag dan ngajak putar-putar Yogyakarta.

Saya terus menjepret, meski tak tahu agenda menjepret. Sudut-sudut Kota Gede dengan bangunan tuanya telah masuk frame kamera. 

Merah, kuning, hijau, dan hitam yang saya dapatkan tak lebih dari itu. 

[caption caption="Lengang sehabis hujan di sekitaran Kota Gede "]

[/caption]

[caption caption="Memotret sepi"]

[/caption]Jam sudah menunjukan 3 pagi, kamipun beranjak pergi dari kota Gede. Angkringan Lik Adi di pertigaan jalan ke Giwangan tempat kami menghangatkan badan. Baju lembab kalah dengan hangatnya wedang asem jahe yang disajikan.

"Liat fotomu Om..." kata mas Rob. Dari fiew finder mas Rob mengamati satu persatu foto saya. Kadang tersenyum, terkadang mengernyitkan dahi. Saya ndak berani bertanya apa yang ada dibenaknya, menunggu dia buka suara.

"Fotone apik-apik, merah, kuning, biru...." hanya itu yang erucap dari mulut mas Rob. Setelah itu dia banyak diam sambil menikati wedang dan makanan.

"Aku ganti liat punya njenengan mas..." pinta saya, mas Rob membuka tas kamera dan menyodorkannya.

"Asyem...." umpat saya.

"La opo Om...." saut mas Rob.

Pada foto-foto di kamera mas Rob banyak bidikan manusia. Foto perempuan yang sedang berdiri dengan satu kaki bersandar pada pintu gerbang. Foto tentang lelaki diatas motor yang sedang melintas dan mendekat wanita yang berdiri di gerbang tersebut. Foto tentang lelaki dan perempuan yang sedang nobrol di tenah malam. Foto tentang lelaki dan perempuan sedang berboncengan di tengah malam setelah hujan.

"Asyemf oto njenegan terasa hidup...." kata saya, mas Rob tidak menjawab hanya meneruskan mengunyah tahu arab yang ada dihadapannya.

"Memange boleh mengunggah foto ginian di media mas?" tanya saya.

"Boleh, siapa yang melarang..." jawabnya singkat.

"Apa tidak takut dituntut mas?" tanya saya.

"Ndak, ndak pa pa... toh foto itu juga ndak jelas wajah mereka, ini soal seni dan konsep memotret.." jawabnya.

"Tadi kok ndak mengingatkan untuk menjepret beginian...." protes saya, dia hanya tertawa. Ilmu itu mahal, butuh waktu dan kembali ke tujuan ketika menjepret, jelasnya.

"Besok sampeyan kembali ke sini lagi sendiri, jepret seperti tujuan yang sampeyan inginkan, hati hati kena temeleng wakakakaka...." candanya. 

"Tapi sampeyan ndak bakalan bisa menyuruh hujan turun sebelumnya..." candanya. Pada intinya moment tak pernah datang lagi, mengabadikan moment lebih penting dari bicara keindahan mungkin itu dari isyarat yang saya simpulkan.

[caption caption="biru dan kuning jalanan sudut kota Gede setelah hujan reda"]

[/caption]

img-2432-5732b1e483afbd941b56bb39.jpg
img-2432-5732b1e483afbd941b56bb39.jpg
merah, kuning, hijau kota gede setelah hujan reda

Keesokan harinya saya bertemu mas Iskandar Zulkaernaen di sela-sela kegiatan Kompasiana-nya di salah satu hotel di Yogyakarta. Dalam kesempatan makan siang sebelum acara, mas Jet mengatakan mengunggahfoto di ruang publik diperbolehkan. Kecuali untuk foto anak-anak ada aturan khusus yang mengaturkan. Mas Jet malah tertawa ketika saya ceritakan peristiwa yang semalam saya lakukan. 

"Pemburu rempah-rempah...." salah satu teman saya menyebut saya, yang suka memotret ditempat gita dimalam hari.

"Cakep om kalau fotonya bisa berserita kayak gitu...itu modelfoto jurnalistik.." jelasnya.

Tapi mau bagaimana lagi sudah terlanjur. Ini merupakan ilmu baru bagi saya. Tentang apa tujuan motret, apa yang ditonjolkan, dan pesan apa yang akan disampaikan, dan bukan soal keindahan. Jadi bukan soal asal njepret.

"Yen nggur mota-moto ndak wani numpak yo kecut mas...." saya mengulangi apa yang dilontarkan perempuan yang ada di kota Gede malam itu. Mas Jet dan teman-tema yang hadir tertawa, menertawakan saya dikira ndak doyan perempuan.

Terima kasih mas Rob Januar, terima kasih mas Iskandar Zulkarnaen, terima kasih teman-teman K-Jogja atas keramahanya.

*)terus njepret

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun