Pembuat undang-undang seakan tidak mau menilik sejarah tentang keperawatan di Indonesia. Tahun 1990-an ada program bidan desa, di mana para perawat perempuan lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Â dididik selama 1 tahun dalam sekolah PPB (Program Pendidikan Bidan). Ribuan perawat perempuan dididik dalam progam tersebut ntuk memeuhi kebutuhan bidan yang ditempatkan di desa di seluruh pelosok desa di Indonesia. Selanjutnya para perawat perempuan ini bergabung ke induk profesi IBI (Ikatan Bidan Indonesia) dan keluar dari PPNI. Begitu pula issue terakhir para perawat anestesi membentuk organisasi sendiri yang juga keluar dari perawat. Selama ini perawat anestesi berasal dari perawat umum kemudian dikursuskan selama 6 bulan, berlanjut ada D3 Perawat Anestesi, dan sekarang berkembang menjadi D4 Anestesi. Kemudian para perawat anestesi ini menamakan diri Penata Anestesi, dan issue-nya tak mau lagi disebut sebagai seorang perawat meski mereka berangkat dari perawat dan sekolah perawat.
Berbeda dengan induk organisasi dokter, IDI begitu solid meski bidang spesialisasi terus berkembang dan bertambah mereka masih berinduk pada induknya IDI. Adanya persatuan spesialis mata, spesialis obsgyn, spesialis jantung, spesialis bedah dan spesialisasi lainnya mereka tetap menyatu dalam satu induk IDI.
Mengapa perawat suka mengotakkan diri? Mirip pepatah kacang lupa kulitnya. Pemerintah dalam hal ini pembuat undang-undang dan kebijakan seakan lupa dengan sejarah, lupa dengan kebijakan pendahulunya bukan menyatukan namun membuat kotak-kotak tersebut. Mungkin inilah perlunya nilai tawar keterlibatan perwakilan organisasi dalam pembuatan undang-undang.
Dirgahayu Perawat Indonesia
*) sedih melihat perawat indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H