Ponorogo, 18 Oktober 2015
Bagaimana bila seni tayub tanpa ada minuman keras? Tentu ibarat masakan kurang bumbu, selama ini minuman mengandung alkohol tersebut menjadi bumbu utama bisa terselenggaranya tarian kegiatan tersebut. Masih saya ingat ketika jaman SMP sembunyi-sembunyi menonton tayub-an di dusun tetangga, bau minuman alkohol sangat menyengat, dan minuman ditaruh dimana-mana dan setelah selesai sering diakhiri dengan perkelaian. Hal ini lah yang membuat orang tua saya marah dengan menghadiahkan pukulan rotan pada paha saya, dan harus rela tidur di teras karena tidak mendapatkan pintu masuk.
Dahulu seni tayub sudah menjadi budaya di tempat kami, banyak orang yang punya hajat menggelar kesenian tayub, atau para penggila seni ini rela mendatangi ke luar kampung atau luar daerah dengan berombongan menaiki pik up terbuka untuk menyalurkan hoby menari dan mencari hiburan. Entah apa sebabnya sekarang pesta pernikahan dengan menggelar seni tayub sudah jarang dilakukan, mungkin protes dari sebagian warga di tempat kami sehingga mereka tidak berani mengambil resiko. Nyaris perkembangan seni tayup berhenti karena tidak ada regenerasi di daerah kami.Â
Dahulu anak-anak dan perempuan tabu untuk menonton pagelaran ini, bila ada perempuan berada ditempat beginian dianggap perempuan nakal. Hanya para perempuan penari saja yang ada di tempat beginian, dan penontonpun berada di kejauhan.
"Wonten nopo pak kok rejo sanget?" tanya saya kepada salah satu warga yang hendak masuk ke halaman untuk menonton, saya menanyakan ada kegiatan apa kok ramai.
"Tayuban mas, tledeke 4 saking Kiring lan Purwantoro..." jawabnya. Dia menjawab ada pagelan seni tayub, dan penarinya 4 dari daerah Bekiring dan Purwantoro Wonogiri.Â
Rasa penasaran membuat saya untuk ikut mendekat, terlihat banyak ibu-ibu dan anak-anak yang menonton diantara para penonton yang kebanyakan para lelaki.
Dalam hati selalu bertanya, tayuban kok ndak ada arak-nya? Tidak ada bau alkohol yang menyegat, tidak ada gelas atau botol-boto minuman. Penonton perempuan dan anak-anak ini yang menjadi pertanyaan.
Terlihat dari penari perempuan (tledek) menari ditengah halaman yang masih berupa tanah, dipagari dengan tali berkeliling mirip ring tinju, sementara para penabuh gamelan berada di teras, para penonton menonton dari luar pagar tali yang mirip ring tinju tersebut.Â
Kebetulan saya bertemu kepala desa-nya, "Iki ono opo pak lik?" tanya saya, saya sudah akrab dengannya karena masih bersaudara.