Banyak hal yang belum bisa saya ungkap dari penyuka "Bangku Tua" ini, sampai-sampai judul saya buat mirip dengan nama pelantun "Si Burung Camar".
Namun demi sedikit naluriku mulai tergugah, membaca apa yang tersurat dari setiap tulisan dan gambarnya, dan makna yang tersirat dalam tulisan dan gambarnya.
Luar biasa ternyata ......
Pada awalnnya aku sering mengartikan gambar milik mbak Inge Ngotjol adalah jeritan seorang jomblo atau janda yang merindukan kehangatan dan belaian lelaki, wanita yang lama ditinggal mati oleh suaminya, atau bahkan wanita jomblo yang tak laku-laku sampai di usianya yang tua.
[caption id="attachment_187889" align="aligncenter" width="576" caption="Si Bangku Tua, Inge Ngotjol"]
Harapan dan keinginan para orang tua yang telah berpisah dengan anak-anaknya maupun ketakutan para orang tua lanjut usia akan sisa hidupnya yang akan membebani anak-anaknya, yang sesungguhnya tak perlu mereka risaukan karena para anak-anaknya telah beliau pelihara dan besarkan dengan sebaik-baiknya.
Namun kerisau para orang tua itu tak dapat dipungkiri, dari berbagai cerita dan pemberitaan tentang ketidakpedulian anak-anak mereka, dan seperti kebanyakan anak-anak mereka disibukan dengan pekerjaannya dan lebih disibukan oleh urusan anaknya sendiri [cucunya]. Dan tak sengaja saya membaca tulisan dari teman saya yang saya taruh di photo-nya Gilang Rahmawti, dan hati saya tambah sedih setelah membacanya
Kalau aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Kalau pakaianku terciprat sup, kalau aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu. Kalau aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, janganlah memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tertidur. Kalau aku memerlukanmu untuk memandikanku, janganlah marah padaku. Ingatlah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi? Kalau aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap "mengapa" darimu. Kalau aku tak dapat berjalan, ulurkanlah tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil. Kalau aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas. Kalau kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, Sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu (disadur dari internet/ sumber tdk diketahui)
Terimakasih mbak Inge Ngotjol, mbak Gilang Rahmawati, dan mbak Margaretha Diana atas Photo dan inspirasinya.
Untuk cerita di balik photo lainya silahkan buka Cerita di balik Photo WPC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H