Akhirnya kubayar dua puluh ribu daripada kelamaan berbantah-bantahan.
"Makanya jadi orang jangan lugu-lugu, pinter nyari uang nggak pinter menikmatinya percumah..." kata Narto sambil cengengas-cengenges.
Aku memulai dari pojok ujung timur, hari masih terlalu pagi rupanya, karena banyak wisma yang masih tutup, mungkin jam-jam sedang mempersiapkan diri mau menbuka lapak istilah orang jualan di pasar, sepanjang gang di bagian wisma bagian belakang banyak perempuan yang barusan mandi dan banyak diantara mereka sedang menjemur pakaian, badan mereka masih nampak basah barusan keramas rupanya, pakaian dalam unik-unik menggantung mulai di belakang wisma mulai dari parkiran tadi, bahakan hampir disemua wisma karena bentuk wismanya berseragam, hanya tanaman di muka wisma yang membuat satu wisma dan wisma lainnya berbeda.
"Ngebet banget mas........ jam segini sudah gak betah....." goda perempuan yang sedang menjemur pakaian dalam yang mungkin hanya 4 meteran dari tempatku berdiri, sambil cekikikan dan temannya yang sedang njemur pakain lainya ikutan cekikikan. Aku hanya bisa prengas-prenges di olok begitu, rasanya kok ya canggung kayak demam panggung menghadapinya, pengalaman yang seumur hidup baru aku alami hari ini.
Entah sudah keburu-buru atau bagaimana Naryo sudah menghilang duluan, aku semakin menyengir sendirian, kikuk dan benar-benar canggung kayak harus pidato didepan orang banyak, meski kali ini cuma mondar-mandir di jalanan komplek lokalisasi, benar-benar di luar dugaanku.
"Nang ...... la opo turut kene?" suara perempuan yang sedang menjemur pakaian dalam, Â di seberang perempatan kecil yang tak jauh dari tempatku berjalan.
Aku sudah hapal betul dengan suara yang memanggilku, aku sudah akrab dengan perempuan yang barusan menegurku. Aku menoleh dan menuju ke arahnya, "Minten...."
Minten kaget dan bingung dengan situasi ini, aku berusah lebih dekat dan melompat ke dekat jemuran karena memang bagian belakang wisma tanpa dinding hanya pagar tembok setinggi lutut orang dewasa.
"Kamu kok di sini Nang?"....." tanyanya kembali dan kelihatan gugup.
"Iya aku disini kamupun disini, kita sama..." sambil jari telunjukku kuarahkan di depan mulutku, agar diam dan merasa tidak bersalah.
Perkataanku yang terakhir membuat Minten akhirnya sedikit mengurangi gugupnya.