Mohon tunggu...
Bungzhu Zyraith
Bungzhu Zyraith Mohon Tunggu... -

lebih lengkap lihat di akun facebook saya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibuku Pejabat "Blo'on"

16 Desember 2009   20:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:54 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku diminta pimpinan dikampusku untuk membantu seseorang temannya Anggota Legislatif yang mencalonkan diri kembali untuk dibuatkan blog. Kusanggupi karena komputer dan internet memang duniaku sejak kecil. Seorang perempuan meneleponku Januari lalu. Kami pun membuat janji untuk bertemu.

“Aku Nurul, mau bantu ibuku untuk bikin blog. Bisa, kan ?” pintanya semangat.
Perempuan dewasa yang cantik jelita itu pasti anak yang berbakti sekali pada ibunya, dan ibunya pasti bangga memiliki putri secantik dan sesaleh dia, pikirku mengagumi dua perempuan sekaligus.
“Bisa, mbak ! Kasih saya semua bahannya. Profil, photo, tulisan, atau apa saja tentang ibu mbak”
“Ok, ntar aku kasih selengkap-lengkapnya, ya ! Bisa kukirim lewat email, kan ?”
“Bisa, mbak !”

Mbak Nurul yang cantik itu tidak lama menemuiku, karena dari penampilannya aku bisa memastikan, bahwa dia seorang yang memiliki pekerjaan yang bagus. Belakangan aku tahu, bahwa dia adalah seorang sekretaris sebuah perusahaan terkenal di negeri ini, yang pabriknya ada di kota tempatku kuliah.

Beberapa hari selanjutnya aku menerima feed blog tentang ibunya.
Dari profil yang kuterima, ibu dan anak sama cantiknya. Berbahagia sekali laki-laki yang menjadi suami dan ayah perempuan-perempuan cantik itu. Ibu itu kemudian kukenal sebagai seorang salah seorang pimpinan di lembaga legislatif partai tertentu, kebetulan partai yang tidak familiar di kehidupan sehari-hariku.
Benar-benar keluarga yang sukses, pikirku.

Tidak butuh waktu lama untuk membuat blog yang feednya sudah dipersiapkan.
Suatu hari mbak Nurul menyampaikan salam dari ibunya, bahwa dia ingin berterimakasih secara langsung.

Tibalah hari yang dirancang itu.
E. Hafazhah, sang pejabat itu menemuiku di kampus.
Mengenakan busana muslimah sederhana dan tidak kutemukan sosok pejabat di pertemuan pertama kami.
Aku merasa seperti sudah mengenalnya lama. Mungkin aku terpengaruh dengan penampilannya yang hampir tiap hari di koran-koran lokal di kotaku.

Dari perbincanganku hari itu, bisa kusimpulkan bahwa ibu ini, awet muda, cantik, cerdas, ramah, baik hati, tawanya tulus, dan pejabat yang suka tampil sederhana.
Kekagumanku padanya mulai tumbuh di hatiku.
Pejabat yang di kalangan teman-temanku jadi bahan pembicaraan yang tidak mengenakkan itu sama sekali tidak kutemukan pada ibu itu.
Dan ternyata mbak Nurul itu bukan anak kandungnya, melainkan anak angkatnya.
Sambil bercanda aku pun sempat bergurau :
“Saya juga mau jadi anak ibu”
“Oh ya... ! Boleh…!” jawab ibu itu ramah.
“Jangan mau, Horas ! Dia galak lho…” timpal mbak Nurul.

Aku pun tergerak untuk memanggilnya “mama” sebagaimana mbak Nurul memanggilnya.
Dan sejak saat itu kami berinteraksi lewat handphone dan internet. Karena ternyata ibu itu adalah “ibu gaul abis”. Semua hal updated banget di kepalanya. Musik, film, bahasa, ilmu pengetahuan, apalagi politik dalam dan luar negeri. Yang tidak kalah asyiknya, semua informasi yang keluar dari mulutnya dibalut ilmu agama yang “dalam banget” dengan gaya kontemporer dan “ngena”.

Hari-hariku selanjutnya aku banyak mendapat ilmu-ilmu baru tentang hidup. Hampir semua masalah yang kuhadapi kusampaikan padanya, dan selalu saja mendapat solusi cerdas dan tepat. Semua masalah yang kuhadapi jadi ringan dalam bimbingannya.

Kujadikan dia sebagai ibu ke duaku. Aku merasa mendapat sesuatu yang tak terkatakan nilainya. Mama, ternyata sudah memiliki anak angkat semodel aku sejak gadis, semasa kuliah semester III, anak pertamanya adalah seorang gadis muallaf dari Medan, korban kekerasan dalam rumah tangga. Mama sudah menikahkan anak sebelum ia sendiri menikah. Disusul seorang remaja laki-laki muallaf, anak terlantar. Tapi menurutnya, dia merasa gagal mengasuh anak angkat ke duanya, karena ternyata anak yang diasuhnya kali ini adalah seorang anak yang memiliki orientasi seksual menyimpang, anak laki-laki itu ternyata adalah seorang anak perempuan. Pengalaman yang belum cukup, menurutnya ikut mempengaruhi kegagalannya. Ia tidak dapat mengembalikan anak asuhnya menjadi seorang anak perempuan yang normal, juga tidak dapat mempertahankan imannya.

Ia sendiri sering heran, kenapa selalu ada anak baru dalam hidupnya. Sementara anak kandung yang terlahir dari rahimnya hanya dua orang, enam yang lainnya gugur sebelum genap 2 bulan di dalam rahim. Ia memiliki banyak kelemahan di rahim. Terakhir, setelah almarhum suaminya meninggal, kanker rahim membuatnya kehilangan seluruh organ paling khas dalam diri seorang perempuan.
Menurut salah seorang anak angkatnya yang lain, aku memanggilnya kak Zahra, seorang muallaf dari Sragen, mama angkatku adalah seseorang yang mimiknya tidak pernah berubah, walau cobaan seberat apapun menimpanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun