foto : https://pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2017/01/oil.jpgtya
Teringat semasa kecil, menghirup asap kendaraan merupakan salah satu pengalaman yang menyenangkan saat itu. Apalagi jika menjumpai jenis asap dengan aroma yang menyerupai permen, begitu semangatnya saya beserta teman-teman menikmati asap tersebut. Dan saat ini saya sadar betapa polos dan bodoh nya waktu itu. Tidak semua orang semasa kecilnya pernah mengalami hal seperti ini, mungkin hanya sebagian yang mengalaminya. Jangan ditiru.
Mengingat tentang masa itu, saya pikir asap adalah bagian dari sebuah energi yang saya sebut minyak bumi. Dekat dan selalu berdampingan dengan diri kita, minyak bumi. Sudah banyak diketahui bahwa untuk menunjang berbagai aktivitas kehidupan manusia, pasti membutuhkan energi dari hasil minyak bumi yang secara tidak sadar kita gunakan setiap hari, mulai dari kebutuhan dapur, transportasi hingga digunakan untuk berbagai kebutuhan industri.
Sekilas menilik tentang era kejayaan minyak Indonesia, dari yang semula tak berdaya, mendadak kaya raya bergelimang dolar sebagai akibat berkah minyak bulan oktober ? Jika pada awal 1970-an harga minyak hanya US$1,67 per barel, akibat perang yang meletus pada 6 oktober 1873, harga dengan cepat naik menjadi US$3,65 per barel, dan terus meroket mencapai US$12 per barel pada awal 1974. Kenaikan itu masih merambat menjadi US$13,5 dolar, dan meroket karena di picu revolusi Iran 1979 menjadi US$35 per barel.
Perumpamaan apa yang tepat untuk menggambarkan pertamina ? Pertamina yang didirikan pada 1968, sebagai hasil dari gabungan tiga perusahaan minyak PN Permina, PN Permigan, dan PT Pertamin. Dalam tempo cepat berubah dari sekumpulan usaha dunia ketiga menjadi konglomerasi besar yang puncaknya pada pertengahan dekade 70-an sebagai perusahan minyak terbesar ke-200. Untuk Indonesia, keberhasilan itu menggemparkan. Meski terihat besar, penting, dan canggih, itu hanya kulit luarnya saja, dalam (Raduis prawiro- Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi)
Indonesia dan Kisruh Minyak Global
Antara tahun 1973 sampai 1980 dikenal dengan era booming minyak. Selain manfaatnya, ledakan minyak ini juga menimbulkan efek negatif, yakni membuat bangsa kita manja dan boros. Kita sendiri waktu itu tak siap dengan fenomena ledakan minyak ini. Naiknya ekspor, misalnya, diikuti oleh lonjakan impor, defisit APBN (dalam bentuk rupiah) ditutup dengan surplus penerimaan (dalam valuta asing) dan jumlah uang beredar pun bertambah, sehingga inflasi meningkat. Ketika itu laju inflasi Indonesia tinggi dari rata-rata inflasi dunia.
Dilihat secara teori, kekayaan sumber daya alam mestinya akan mendorong pesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kenyataannya tidak demikian. Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam ternyata rendah tingkat pertumbuhan ekonomi nya. Mereka umumnya dari kelompok dunia ketiga, terletak di area konflik dan bergolak, miskin dan korup. Negara-negara itu juga cenderung tidak memiliki pemerintahan yang kuat dan kerap dilanda perang saudara. Inilah yang menjadi penghambat ekonomi negara-negara tersebut.
Minyak telah menjadi senjata politik. Embargo minyak ke negara-negara barat oleh Organization of the Petroleum Eksporting Countries (OPEC) telah melambungkan harga minyak dunia. Jika konflik AS-Irak dipacu oleh keinginan AS menguasai minyak, maka konflik Indonesia -Malaysia saat itu juga  tidak lepas dari aroma minyak. Para politisi boleh mengatakan konflik ambalat digunakan untuk mengalihkan isu kenaikan harga BBM. Namun sesungguhnya dua kasus yang memanaskan suhu perpolitikan Indonesia tersebut adalah sama, yakni minyak.
Di Blok Ambalat diyakini tersimpan kandungan minyak 700 juta sampai 1 miliar barel serta gas bumi sekitar 40 triliun kaki kubik. Negara-negara lain yang juga menikmati oil boom, seperti Saudi Arabia dan negara-negara Timur Tengah lainnya, lebih suka menyimpan dan menginvestasikan dana hasil minyaknya di negara-negara Barat.
Saudi Arabia, misalnya melalui entitas bisnis Kingdom Holding yang dikelola oleh pangeran Alwaleed bin Talal, menginvestasikan dana ratusan juta dolar untuk membeli saham Twetter. Sebelumnya pangeran Alwaleed juga menjadi pemegang mayoritas saham Citybank dan beberapa perusahaan terkemuka lainnya, termasuk Apple. Pria Indirasardjana 2014 (156-157).