Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesiasentris di Balik IKN?

29 November 2023   17:10 Diperbarui: 29 November 2023   17:42 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                UU Ibu Kota Negara (IKN) sudah disahkan. Pengesahan ini memastikan bahwa pemindahan ibukota tak lagi hanya sebatas isu gorengan politik, tapi betul-betul jadi amanat konstitusi yang harus dilaksanakan.

                Ada sejumlah alasan mengapa ibukota hendak dipindahkan oleh pemerintahan Jokowi. Alasan pertama, penduduk Jawa terlalu padat; kedua, kontribusi ekonomi terhadap PDB; ketiga, krisis ketersediaan air; keempat, konversi lahan di Jawa mendominasi. *

                Mari kita lihat alasan yang diajukan Jokowi, yakni alasan pertama mengenai penduduk Jawa yang terlalu padat. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menyebutkan, sebesar 56,56 persen masyarakat Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. 

Sementara di pulau lainnya, persentasenya kurang dari 10 persen, kecuali pulau Sumatera. Penduduk Sumatera sebesar 21,78 persen dari keseluruhan masyarakat Indonesia, atau sebanyak 56.932.400 jiwa. Di Kalimantan, persentase penduduk Indonesia hanya 6,05 persen atau 15.801.800 jiwa. Di Sulawesi, persentase penduduk Indonesia sebesar 7,33 persen atau 19.149.500 jiwa. Di Bali dan Nusa Tenggara, penduduknya sebanyak 14.540.600 jiwa atau 5,56 persennya penduduk Indonesia. Sementara di Maluku dan Papua memiliki persentase paling kecil, yakni 2,72 persen atau 7.103.500 jiwa.

                Alasan keduanya adalah kontribusi ekonomi pulau pulau terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB), sangat mendominasi. Sementara pulau lainnya jauh tertinggal. Jokowi ingin menghapuskan istilah "Jawasentris" sehingga kontribusi ekonomi di pulau lain juga harus digenjot. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, kontribusi ekonomi terhadap PDB di pulau Jawa sebesar 58,49 persen. Sebanyak 20,85 persen di antaranya disumbang oleh Jabodetabek. 

Sementara pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa sebesar 5,61 persen. Di Sumatera, kontribusi ekonominya sebesar 21,66 persen dengan pertumbuhan 4,3 persen. Adapun di Kalimantan, kontribusi ekonominya sebesar 8,2 persen dengan pertumbuhan ekonomi 4,33 persen.      Di Sulawesi, kontribusinya hanya 6,11 persen. Namun, perrumbuhan ekonominya paling tinggi, yakni 6,99 persen. Di Bali dan Nusa Tenggara, kontribusinya 3,11 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,73 persen. Di Maluku dan Papua, berkontribusi sebesar 2,43 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,89 persen.

                Dua alasan di atas cukup untuk kita jadikan sorotan. Mengemukakan angka-angka di atas, mendadak bikin saya teringat akan kata-kata ikonik yang diucapkan oleh Dipa Nusantara Aidit dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, "Jawa adalah kunci." Kata-kata Aidit bukanlah kata-kata kosong. Dari sejak Pemilu pertama yang dilakukan republik ini pada 1955 hingga pemilu terakhir pada 2019, jumlah penduduk Jawa sudah lebih dulu banyakan dari luar Jawa. Jumlah penduduk yang banyak inilah yang menjadi faktor penentu. Penduduk yang banyak biasanya meniscayakan adanya kegiatan ekonomi yang juga banyak. Karenanya, data angka di atas yang memampangkan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi PDB terasa sangat satu tarikan nafas. Faktor inilah yang menjadi alasan mengapa "Jawasentrisme" terasa menjadi alamiah.

                 Ketidaksadaran terhadap jawasentrisme rupanya ingin diberantas oleh Jokowi. Bisa dikatakan keberanian mengakui adanya jawasentrisme ini merupakan diksi revolusioner Jokowi. Barangkali bila hendak ditegaskan, ini sejatinya yang merupakan "revolusi mental". Mental "jawasentrisme" ditransformasi menjadi mental "indonesiasentrisme". Caranya ya pindahan ibukota dari Jawa ke Kalimantan. Terdengar adiluhung bukan. Pertanyaannya, bila betul-betul dipindahkan, apakah kelak justru akan terjadi "kalimantansentrisme"?

                Pemindahan ibukota jelas bukan hal yang sederhana seperti halnya orang pindah rumah. Bila yang terakhir, gampang-gampang saja, bungkus semua barang angkut dengan truk, penghuni rumahnya bisa duduk samping Pak Sopir, maka memindahkan ibukota tak semudah itu. Banyak hal yang harus dilakukan sebelum pemindahan ibukota betul-betul dilakukan.

                Pembangunan kota di Jakarta sendiri banyak yang salah. Achmad Baidowi, anggota DPR RI, menguraikan beberapa kesalahan yang terjadi di DKI Jakarta. Ia mengungkapkan ini dalam kaitan agar kesalahan tersebut tidak terulang dalam penataan ibukota negara yang baru. Pertama, keterlambatan dalam pembangunan fasilitas transportasi umum. Kedua, masalah banjir. Ketiga, kepadatan penduduk yang tidak terkendali. Keempat, tingkat kriminalitas yang tinggi.** Intinya tata ruang itulah yang menjadi kunci. Lagi-lagi kunci.

                Ibukota acap memunculkan konotasi kejam dan tanpa kemanusiaan. Menangkap fenomena ini sutradara Imam Tantowi pada 1981 lantas membikin film bertajuk "Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibukota". Dibintangi Ateng dan Iskak film ini menggambarkan bagaimana Ateng yang sering ditampar ibu tirinya di kampung merasakan saat di ibukota bersama Iskak, kawan lamanya, kekejaman ibu tirinya masih kalah dibandingkan keras dan ganasnya kehidupan di ibukota, Jakarta. Meski film ini sudah lama, namun tetap jadi pengingat yang penting bagaimana makna ibukota pernah dipahami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun