Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tarik Tambang antara Nasionalis Muslim dan Nasionalis Islamis

14 November 2020   09:24 Diperbarui: 14 November 2020   09:28 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pandangan Bung Karno ini bisa jadi merupakan gambaran tentang kesadaran bahwa identitas rupanya saling-silang, berhimpitan, lapis-berlapis, yang bisa mengembang, bisa mengempis, meluas, menyempit, naik dan turun. Hal ini, sedikit banyak searah dengan gagasan nasionalisme seturut Benedict Anderson dalam Imagined community (1983) yang disimpulkan sebagai konstruksi tentang batas yang dibikin sekelompok orang yang tak pernah bertatap muka tetapi bahkan mereka ini rela mati untuk imajinya. Relatif hampir sama dengan ummah, tapi hampir minus emosi keagamaan, meskipun bisa jadi ada juga telusupannya.

Islam sebagai kategori kultural tak lepas bersentuhan dengan konsep internasionalisme dan nasionalisme. Sebelum kemunculan gerakan macam internasionalisme ala sayap kiri, di Timteng pernah berdenyut gerakan yang berupaya menyatukan orang-orang muslim. Gerakan ini dipelopori Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dengan jenama Pan-Islamisme.

Gerakan Pan-Islamisme tentu tidak punya hubungan dengan paham panteisme. Ia adalah gerakan yang berupaya menyatukan orang-orang muslim secara lintas batas teritorial kolonial. Al-Afghani memulainya dengan gerakan pembaruan pemikiran diikuti dengan upaya pengorganisasian. Keduanya berusaha mengangkat peran akal/rasio dalam pemikiran keagamaan. Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai muridnya melanjutkan proyek al-Afghani diteruskan Rasyid Ridha (1865-1935). Namun, di bawah Rasyid Ridha, ideal Pan-Islamisme terganti dengan paham Salafi yang cenderung konservatif. Bisa dikatakan Salafisme tumbuh di bawah naungan bendera Pan-Islamisme dan lantas menghapuskan diksi "Pan" di depannya. Tidak terlalu keliru rasanya bila lantas kita bisa menaruh salafisme di bawah bendera Islamisme.

Nasionalis Islamis dan Nasionalis Muslim

Perlu dicatat, di negara-negara mayoritas muslim, ada antagonisme antara ide komunisme, sosialisme, nasionalisme dan Islamisme. Sebagian memandang nasionalisme ditautkan begitu saja dengan sekularisme sehingga dibaca nasionalisme sekular. Sebaliknya Islamisme dipandang sebagai sesuatu yang holistik secara inheren. Islamisme berseberangan dengan sekularisme.

Islam sebagai ideologi diimajikan punya konsep kenegaraan yang baku. Terobosan konsep nasakom (nasionalisme, agama (Islamisme), komunisme) Bung Karno yang menggabungkan tiga ideologi berupaya menerabas kekakuan. Tetapi Islamisme Bung Karno era 1920-an adalah keyakinan yang memeluk erat nasionalisme, demokrasi, internasionalisme, dan ketuhanan.

Tan Malaka (1897-1949) adalah kasus menarik. Dia pernah menduduki posisi di Komintern (Komunis Internasional), karena itu jelas dia berteguh pada internasionalisme. Tapi, belakangan dia berdialektika lagi dengan meyakini kekuatan nasionalisme. Tan Malaka sendiri punya keyakinan yang kontras dengan dogma Marx tentang agama. Bila Marx berakidah bahwa agama merupakan candu rakyat, bagi Tan, dengan pengalaman Sarekat Islam (SI) agama menunjukkan kekuatan transformatif bagi revolusi sosial dan nasional.

Uraian Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2012) memberikan gambaran lebih jauh ihwal peran Islam sebagai sumber identitas baru bagi proto-nasionalisme di Hindia Belanda. Adalah SI yang mengambil peran formatif ini. Berdiri pada warsa 1912 dari organisasi awalnya Sarekat Dagang Islam (SDI) setahun sebelumnya, ia segera menarik banyak anggota dan berkembang sangat massif. Adopsi ideologi yang diambil SI berbeda dengan Boedi Oetomo (BU) (berdiri 1908) yang meneguhi etno-nasionalisme maupun ISDV (Indische Social-Democratische Vereeniging) (berdiri 1914) yang memegangi sosialisme dan komunisme.

Keanggotaan massif yang dicapai SI dilihat sebagai ladang menarik oleh kalangan sosialis yang lantas menerapkan strategi 'blok dalam', sebuah istilah yang bermakna gampangnya melakukan penyusupan secara organisatoris. Singkat kata, infiltrasi ini sukses dan belakangan orientasi SI terbelah menjadi 'SI Merah' dan 'SI Hijau'. SI Merah dengan sentralnya kuat di Semarang, di bawah Semaun dan Darsono. Para pemimpin 'SI Hijau' seperti Agus Salim dan Abdul Muis yang menyadari penyusupan lantas mengembangkan upaya dalam dua bentuk: (1) program-program lebih radikal dan (2) Islam sebagai kounter-ideologi sekaligus identitas SI.

Bukan hanya kontra dengan kelompok sosialis, kelompok SI juga mendapat serangan dari kalangan etno-nasionalis yang menuduh SI mempolitisasi agama dan meminyaki fanatisme Islam. Namun demikian, Abdul Muis menolak sebutan tersebut dan menegaskan bahwa SI tetap konsisten dengan karakternya sebagai sebuah organisasi 'nationalistisch Islamistisch' (nasionalis-Islamis) (Deliar Noer :1980).

Nasionalis Islamis mendekati agama Islam sebagai 'way of life' atau 'ideologi'. Dengan kacamata ideologi, Islam dianggap memiliki sistem komprehensif dan sempurna. Namun, bila nasionalis islamis menjadikan syariah sebagai tujuan bernegara, nasionalis muslim menekankan hukum negara konstitusi. Sejatinya, ada antagonisme antara nasionalis-islamis dengan nasionalis-muslim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun