vis--vis Komunisme Timur TengahÂ
Saban tahun di bulan September perdebatan mengenai isu PKI dan ancaman komunisme niscaya mengemuka. Perdebatannya akan berkisar mengenai ancaman komunis itu realitas tak terbantahkan atau ilusi belaka. Masing-masing pihak baku argumen yang sengit. Baik yang menganggap ancaman komunis itu fakta maupun yang sebaliknya.
Berbeda dengan di Indonesia, pengalaman Timur Tengah terkait dengan gerakan komunis rupanya relatif berbeda. Meski memang tidak terlalu berpengaruh dalam konteks masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara umumnya, namun pengaruh intelektualismenya tak bisa diremehkan. Hal ini bila mengambil tesis yang dinyatakan oleh Laura Feliu dan Izquierdo-Brichs (ed.) dalam Communist Parties in the Middle East: 100 Years of History (2019). Memang, pada era 1980-an dan 1990-an, terjadi pasang naik ideologi Islam politik atawa Islamisme yang berjalan seiring dengan melemahnya ideologi nasionalisme Arab atau Pan-Arabisme.
Pan-Arabisme ini merupakan bagian dari ideologi Nasserisme (paham dari Gamal Abdel Nasser, presiden pertama Mesir) yang cenderung berdekat-dekat dengan kebijakan negara Uni Soviet Rusia. Meninggalnya Nasser digantikan Anwar Sadat yang mengubah bandul kebijakan Mesir menjadi lebih terbuka pada negara-negara kapitalis Barat. Di saat yang sama, Sadat juga menyokong gerakan Islamis sebagai upaya membendung gerakan Kiri yang diakrabi pendahulunya.
Gerakan komunis di tanah Arab bukan mainstream tentu, namun, ia turut mewarnai dinamika historisnya. Dikaitkan dengan konteks gerakan Islamis, menjadi tanda tanya apakah komunisme di Arab pernah bergandeng tangan dengan Islamisme ataukah selalu baku hantam? Atau bagaimana sebenarnya hubungan yang terjadi antara Islam dengan komunisme?
Maxime Rodinson, seorang sarjana Marxis Perancis, pernah mengemukakan analisis struktural relasi komunisme dengan Islam. Dalam buku berjudul Marxist and Muslim World (London: Zed Books, 2015)[1972], Rodinson menyarankan tiga relasi terjalin di antara dua gerakan ini yang meliputi perseteruan, penyesuaian ideologis, dan koeksistensi damai. Penting digarisbawahi bahwa analisis relasi seturut Rodinson ini adalah analisis yang sifatnya strukturalis, bukan kronologis. Artinya tiga hubungan itu ada, existing, bukan merupakan rangkaian perjalanan sejarah.
Relasi perseteruan antara Islamis dengan komunisme sangat kentara bila dilihat pada masa pergerakan di Mesir di era 1930-an dan 1940-an. Syubra al-Khayma, terletak di utara Kegubernuran Kairo, merupakan contoh kota di Mesir tempat pergolakan di mana komunis dan Islamis saling berebut pengikut. Di kota ini pernah berdiri Syubra al-Khayma Mechanized Textile Workers' Union (SKMTWU)(Serikat Pekerja Mesin Tekstil Shubra al-Khayma). Sebuah serikat yang para pemimpinnya menumbuhkan kesadaran kelas proletarian karena memang berasal dari kelas bawah. Menariknya, di kota ini pula, organisasi Ikhwanul Muslimin mendirikan perusahaan mereka yang berupaya menolak konsep konflik kelas dengan menerapkan konsep takaful (kerjasama pengusaha dan pekerja). Syeikh Hasanain Makhluf (1890), Mufti Mesir dari 1946-1950, pada salah satu sidang pengadilan memberikan testimoni tentang kesesatan komunisme. Di sidang di mana para komunis berhadir ini ia menyatakan bahwa doktrin komunis tidak lain kelanjutan dari gagasan-gagasan Ismailisme abad pertengahan yang oleh mereka sendiri didasarkan pada 'tokoh yang disebut "filsuf" Yunani, Plato, yang mendukung gagasan wanita sebagai milik bersama.' Kemudian, perlu disebutkan nama Mullah seperti Muhammad Baqir Shadr (1934-1980), yang bukunya Iqtisaduna (Ekonomi Kita) dan Falsafatuna (Filsafat Kita) membahas secara mendalam kritik atas bermacam aliran filsafat Barat termasuk materialisme dialektik dan materialisme historis dalam Marxisme.
Relasi penyesuaian ideologis bisa disebutkan mendapat contoh yang representatif dalam tokoh bernama Khalid Bakdash/Bekdache (1912-1995). Bekdache adalah sekretaris jenderal Partai Komunis Suriah dari 1936 sampai ajalnya. Pada salah satu Kongres Partai Suriah-Lebanon yang dihelat di Beirut dari 31 Desember 1943 hingga 2 Januari 1944, dia berpidato dengan fasih.
"Dan dalam lapangan budaya nasional (al-tsaqafa al-qawmiyyah), kita [komunis Suriah-Lebanon] menjalankan kewajiban dengan segenap kemampuan. Kita mencari inspirasi dari tradisi kebebasan Arab (al-turats al-hurr al-'arabi) dan kita mewarisi dalam sanubari gerakan kemerdekaan nasional kita, unsur-unsur terbaik dari kebijaksanaan dan tradisi leluhur Arab kita.
Dalam perjuangan politik kita mengadopsi ayat-ayat mulia: 'Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu perkara' dan bahwa hadits: 'Dia yang membantu orang zalim, maka kekuatan Allah akan melawannya'; kita mengambil kata-kata Khalid bin Walid yang kezuhudan dan kesalehannya menjadi contoh terpuji bagi anak cucu: 'Aku tidak berjuang untuk Umar!" dan kata-kata Khalifah Arab, Umar bin Abdul Aziz: 'Allah mengirim Muhammad untuk menunjukkan jalan yang benar, bukan untuk menarik pajak', dan kata-kata Khalil Gibran: 'Sesembahanku adalah kemerdekaan' ... dan banyak lagi kebijaksanaan dan ujaran yang menjadi semboyan kita. Kita harus mulai tumbuh karena, tak seperti yang lainnya, kita tidak takut kemungkinan bahwa semboyan-semboyan tersebut akan meresap ke dalam kehidupan rakyat, bahwa massa-rakyat akan menyerapnya dan menyerukan penerapan praktisnya dalam kehidupan nasional dan sosial."