Unjuk rasa atau demonstrasi adalah pemandangan keseharian yang sudah tak asing bagi kaum perkotaan. Di kota besar atau kota kecil, di negeri ini, demostrasi menjadi media unjuk gigi bagi para mahasiswa, penggiat LSM, serikat pekerja, aktivis dan lain-lain. Demonstrasi bisa diterjemahkan sebagai ungkapan protes yang dilakukan secara bersama-sama untuk menyampaikan tujuan tertentu baik urusan politik, hukum, budaya bahkan agama sekalipun.
Secara historis, aksi demonstrasi bermula pada pertengahan abad ke-19 di Irlandia yang terinspirasi dari Daniel O'Connell. Di Indonesia, tradisi demonstrasi baru sangat sering dilakukan pasca reformasi. Selama masa orde baru, demonstrasi relatif tidak ada karena memang dilarang oleh rezim tersebut. Ringkasnya, kegiatan demonstrasi lahir dari rahim reformasi sebagai konsekuensi puluhan tahun rakyat Indonesia disumbat ‘kran’ bicara dan berpendapatnya selama masa Soeharto.
Ingatan kita masih hangat, beberapa minggu yang lalu, Basuki Tjahaya Purnama yang dikenal dengan panggilan Ahok tersandung QS. Al-Maidah: 51. Gelombang aksi demonstrasi kaum muslim dari berbagai pelosok negeri ini serentak turun ke jalan menuding Ahok telah menistakan agama. Mereka memeperkarakannya secara hukum untuk segera ditangkap dan diadili. Sumpah serapah untuk Ahok tak terbendungkan keluar dari mulut mereka. Aksi mereka semakin masif karena didukung dan diperkuat lembaga agama paling tinggi di negeri, yaitu MUI dengan mengeluarkan fatwa saktinya.
Meski Ahok telah meminta maaf atas insiden tersebut kepada kaum muslim, tapi ormas dan para aktivis mulslim yang melaporkannya tetap menginginkan ditangkap dan diadili terlebih dahulu. Salahsatu pernyataan terlontar dari panglima besar FPI, Habib Rizieq, “Ahok harus ditangkap, kalau tidak, Istana dan DPR kita duduki”.
Hampir seluruh kaum muslim di Indonesia, kini tengah sibuk mempersiapkan diri untuk turun ke jalan kembali, menyuarakan isu yang sama, pada tanggal 4 November 2016 nanti.
Isu Abu-abu
Isu penangkapan dan pengadilan Ahok prihal penistaan agama, yang mereka tuduhkan kepadanya, banyak pihak tertentu memanfatkannya untuk kepentingan politik. Rivalitas dalam dunia politik sangat sadis dan kejam, segala cara bisa ditempuh demi memenuhi syahwat politiknya.
Pertanyaannya kemudian muncul : “bagaimana mengidentifikasi para demonstran yang turun ke jalan nanti, tanggal 4 November, apakah mereka sedang membela agamanya dari “serangan” penistaan Ahok atau justru sebaliknya, sedang mendiskreditkan Ahok agar tak jadi pemenang di Pilkada DKI 2017 nanti? Atau sedang melakukan kedua-duanya?
Sangat abu-abu antara menistakan agama dengan kampanye anti pemimpin muslim. Karena keduanya berangkat dari argumentasi penafsiran teks kitab suci, terutama pada kalimat auliyaa dalam QS. Al-Maidah: 51. Perebutan tafsir pada kalimat tersebut menambah kegaduhan negeri ini. Tuduhan negatif yang dipanahkan pada Ahok didasarkan pada fakta-fakta sumir yang sangat subjektif, dan ini sangat mudah untuk dibantah jika disajikan data tandingan, misalnya,prestasi kerja Ahok selama memimpin DKI Jakarta, yang lebih objektif dan meyakinkan.
Ahok muncul sebagai cagub bukan semata-mata keinginan pribadinya, tapi ia didukung oleh kepentingan-kepentingan partai pendukungnya, yang menurut survei peluangnya masih sangat besar untuk memimpin DKI Jakarta kembali.