Ramadan selalu menyisakan kesan dengan sejumlah pesan di dalamnya. Beragam kesan membekas di setiap individu. Mulai dari awal saat menyambut kedatangannya, sahur pertama, tarawih pertama, buka puasa pertama, berburu menu takjil, hingga ‘hunting’ kue dan baju lebaran sebelum mudik dan segudang kegiatan lainnya. Kegiatan manusia di bulan Ramadan setiap tahunnya tak jauh dari perilaku yang yang saya sebutkan di atas.
Ramadan bulan berkah tak ada yang bisa membantah. Pahala ibadah dilipatgandakan, kebaikan ada di setiap sudutnya. Selain itu, ia juga mendatangkan keuntungan ekonomi bagi publik yang tak melaksanakan ibadah Ramadan, sekalipun. Terlebih saat momentum tradisi mudik datang. Semua elemen mendapat cipratan berkah ekonomi darinya.
Kegembiraan semakin memuncak saat Ramadan hendak bergegas. Meski ada beberapa gelintir orang yang justru merasa sedih saat ditinggalkannya dengan faktor tertentu yang bersifat subjektif dengan Tuhannya. Praktik dan pengalaman religius dengan segala kenikmatannya memang hanya bisa dirasakan oleh individu yang mengecapnya.
Terlepas dari kesedihan dan kegembiraan saat ditinggalkan Ramadan, fase berikutnya semua orang akan memulai harinya dengan idulfitri. Lebaran (1 Syawal) kita menyebutnya demikian istilah tersebut.
Sebelum idulfitri, ada satu tahapan yang harus dilewati melalui amatan ilmiah. Tinjauan, analisis, riset lapangan, diskusi antarormas, dan sejenisnya dilakukan dalam rangka meyakinkan umat bahwa 1 Syawal (lebaran) itu legal untuk dirayakan. Kita menyebutnya “Sidang Isbat”.
Biasanya pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) yang menginisiasinya dengan mengundang sejumlah ormas Islam terkait pascamagrib. Objek kajiannya adalah penentuan posisi hilal (bulan). Tentang berapa derajat posisi hilal, berapa sudut elongasinya dan sejenisnya, akan mendapat kesimpulan, apakah hilal tersebut sudah bisa terlihat atau belum. Ini yang kemudian akan menjadi dasar apakah lebaran itu esok hari jadi atau tidak. Ringkasnya, metode rukyat (pantauan langsung) yang dipakai melalui alat teknologi modern.
Tapi keputusan sidang isbat yang dihasilkan pemerintah ini tak mengikat ormas Islam lain yang telah menentukan lebaran (1 Syawal) sebelumnya melalui metode hisab (falakiyah) atau perhitungan astronomi. Terlepas dari metode mana yang harus dipilih, dipakai, dan diikuti dalam menentukan lebaran(1 Syawal) itu menjadi kewenangan masing-masing individu sesuai dengan latar belakang, ilmu pengetahuan, serta lingkungan di mana ia berada.
Namun perdebatan dalil metode mana yang paling sahih untuk dijadikan hujjah (pedoman) menyeruak ke ruang publik, salah satunya media sosial. Beragam tanggapan dan narasi masuk pada wilayah pembenaran sepihak yang mengabaikan toleransi. Jelas ini sangat membahayakan. Dinamika itu ada dan wajar, menurut saya. Ada pelajaran berharga yang seharusnya dipetik dalam menyikapi perbedaan pendapat. Dan itu harus dirayakan secara positif.
Menurut saya, metode hisab dan rukyat adalah dua hal yang sangat penting dalam memulai pelaksanaan ibadah (puasa, idulfitri, iduladha) karena keduanya menyangkut hasil penggunaan pemikiran matematis yang didukung oleh akurasi data. Dan ini pasti memunculkan perbedaan di lapangan. Namun, dua metode di atas saling menguji dan mengoreksi satu sama lain. Memadukan keduanya akan mengurai ketegangan dan kekakuan beragama di masyarakat. Beragama adalah manifestasi dari kerukunan dan kedamaian, bukan sebaliknya.
Jangan lupa, pesan terakhir yang tak kalah pentingnya: “Rayakan lebaranmu dengan ketupat!”