Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menerjemahkan Gunung Buntung

13 Juni 2020   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2020   05:38 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kampung kecil, sarat makna dan perjuangan. Terletak di Desa Kramatlaban, Kecamatan Padarincang. Jauh dari Serang sebagai ibu kota kabupaten. Tiga puluh tujuh kilometer, tepatnya. Sebuah kampung yang mempunyai sejarah tersendiri (historis).

Dari cerita para sesepuh, kampung ini 'muncul' karena adanya para pendatang dari beberapa kampung lain di sekitarnya yang menetap di sini. Banyak faktor, salah satunya adalah alasan keamanan dan kenyamanan dalam meyakini dan menjalankan idealisme sebuah ajaran (mazhab) yang sedikit berbeda dalam  prinsip dan tata cara (baca: kaifiyat).

Tahun 60 hingga 70-an, peristiwa bersejarah tersebut berlangsung. Sebuah masa yang tak bisa saya bayangkan bagaimana  'insiden' itu bisa terjadi. Ada pengorbanan yang begitu dahsyat, ketika sebuah keluarga harus berpisah dengan saudaranya, ada pertengkaran fisik, kekerasan verbal, hingga intimidasi penghilangan nyawa antarsaudara dan antarkeluarga.

Perbedaan dalam memegang prinsip keagamaan, saat itu, masih kaku. Tak ada ruang demokrasi, toleransi atau  sejenisnya. "Yang berbeda denganku bukan bagian dariku", kira-kira kalimat itu yang cocok untuk merepresentasikan kondisi "bermazhab" saat itu. Wajar, logis dan rasional karena pengetahuan tentang keragaman belum termaknai secara komprehensif.

Sangat paradoks dengan kondisi kekinian, Gunung Buntung yang sekarang  jauh lebih terbuka, moderat dan inklusif. Friksi dan konflik antarsaudara dan antarkeluarga tak pernah lagi terjadi. Generasi sekarang jauh lebih maju dan progresif dalam menerjemahkan perbedaan dan keragaman dalam bermazhab. Capaian yang mesti dihargai dan dirayakan.

Harmoni antarwarga dan  antarkampung terlihat jelas saat satu sama lain menjalankan prinsip keagamaannya (bermazhab) masing-masing. Tak ada lagi persinggungan, friksi, dan konflik seperti jaman dahulu, saat awal-awal perjuangan membangun Gunung Buntung yang idealis.

Kini, tak ada sekat yang menghalangi persaudaraan. Keharmonisan dalam bermasyarakat dan bermazhab terlihat seolah air yang mengalir di sebuah kali; bening, deras dan lancar. Di dalamnya terdapat beragam ikan-ikan kecil, hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Majulah Gunung Buntung, dari sinilah kami bermula.


*Gunung Buntung-Sabtu Pagi, 13 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun