Di sisi yang lain, pada konsep sastra lama, ada istilah yang disebut  " The infinite monkey theorem " -  teorema monyet tak terbatas, yang menyatakan bahwa jika Anda memiliki jumlah kera yang tak terhingga, mereka semua menekan  mesin ketik dalam jumlah tak terbatas, akan menghasilkan karya besar seperti Pushkin 'Eugene Onegin'.
 Itu semua adalah berkaitan dengan  masalah kurasi daripada penciptaan. Sampai sekarang, konsep teorema monyet tak terbatas itupun  telah menjadi gagasan yang menarik, meski tidak lebih dari itu perkembangan dan  kemajuan luar biasa dalam teknologi kecerdasan buatan membuatnya menjadi kenyataan.
Saat ini, dengan pusat data menjalankan ratusan ribu prosesor yang dapat melakukan jutaan perhitungan per detik, kita melihat  versi kehidupan nyata dari  teorema monyet tak terbatas. Perusahaan seperti Narrative Science dapat menghasilkan dokumen yang koheren dari data mentah dengan cara ini dan Brian Hayes telah membangun program dasar yang melakukan pekerjaan yang lumayan.
Teorema monyet  tak terbatas telah menjadi yang terkemuka di kalangan sastrawan, sangat menarik dan bisa dikatakan "mengganggu." Karena sesungguhnya kreativitas, seperti halnya spiritualitas, adalah sesuatu yang kita anggap unik pada diri manusia, dan karena itu sama sekali berbeda dari proses mesin yang diotomatiskan.
Otak kita bekerja relatif lambat, sekitar 200 MPH, yang tidak cocok untuk perhitungan kecepatan chip komputer. Namun, otak kreatif manusia dapat melakukan banyak hal yang tidak dapat mesin lakukan. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti cara seorang anak menangkap bola berada di luar jangkauan robot yang paling canggih.
Zaman kini, guru menghadapi "jendela" yang sangat luas dan tak terbatas untuk berbagai hal daripada pandangan konsep teorema monyet di atas. Melalui perkembangan media teknologi berbasis digital, salah satunya media sosial, berbagai informasi yang random dapat diurut dan diolah dengan perhitungan matematis yang bisa diarahkan untuk berbagai kepentingan.
Dengan konsep algoritma, berapa milyar informasi yang diproses melalui media sosial seluruh dunia setiap waktu. Lalu kemudian para ahli matematika dan statistika mengkombinasikan jutaan data dalam waktu dan input  yang tak terbatas itu melalui konsep algoritma.
Dan kini, pertanyaannya adalah, apakah silabus pelajaran di lembaga sekolah mampu bersaing dengan "silabus" algoritma tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H