Sikap golput dan berbagai narasi tentangnya, bisa dijadikan pembelajaran dan edukasi politik. Menurut saya bahkan ia adalah wacana positif untuk para calon pemimpin berpikir secara bebas, tanpa terikat dengan "petunjuk" atau  dikte dari petinggi di parpol atau tim suksesnya masing-masing.
Saya coba analogikan dengan orang yang menjadi penjual barang melalui  strategi pemasaran berjenjang - Multi Level Marketing.
Katakanlah petinggi parpol adalah top upline, calon presiden yang maju dan beberapa timnya adalah second layer dan lower layer jaringan di bawahnya. Bisa jadi calon presiden berada di piramida paling bawah dalam struktur pohon biner pemasaran berjenjang.
Top upline bisa juga dalam bentuk koalisi. Karena kekuatan koalisi bagian penting dari mereka yang maju menjadi "lower downlinennya".
Ketika calon konsumen dalam hal in vooter, ditawarkan "produk" yang dihasilkan dari pemikiran top upline dan juga kreatifitas para downline leaders di atas sang presiden- lower downline. Vooter - pembeli, akan dihadapkan kepada pilihan, atau hasrat membelinya akan terdeskripsikan  dengan berbagai respons.
Konsumen yang enggan "membeli" produk, bisa jadi memilih produk lain, karena faktor strategi marketing yang lebih ciamik.
Atau memutuskan tidak membeli sama sekali, karena faktor tidak butuh barang tersebut, atau menilai memang produknya tidak menarik, atau buruk karena kualitas barang dengan harga tidak sesuai.Â
Calon presiden sebagai lower downline, atau bagian dari jaringan pemasaran berjenjang ini, seharusnya  mampu membaca situasi lebih independen. Kreatifitas "menjual" gagasan lebih diarahkan kepada bagaimana meyakinkan calon "pembeli" memahami produk gagasan itu dengan baik. Komunikasi pemasarannyapun dibangun dengan landasan visi intelektualitas dan kapasitas product knowledge yang baik.
Calon presiden harus mampu mengomunikasikan gagasannya dalam memimpin  secara paripurna.  Indikatornya bisa lewat kebijakan yang ditawarkan untuk penyelesaian berbagai masalah secara kongkret.
Isu-isu kekinian dijabarkan dengan komprehensif dan progressif. Jika calon presiden terjebak kepada narasi negatif yang dihembuskan oleh upliners nya yang padahal sesungguhnya mereka adalah orang-orang pencari keuntungan semata pasca kontestasi, kita akan sulit memiliki pemimpin yang hebat dan mampu membawa bangsa ini menjadi bagian dari kemajuan peradaban dunia.
Narasi tentang golput baiknya dipandang sebagai latihan mengukur diri. Apakah memang masing-masing calon presiden "pantas" menjadi pemimpin yang diidamkan atau tidak, karena kemampuannya hanya sebagai "downliner" struktur biner pemasaran berjenjang tadi.Â
Atau hanya mampu menjalankan pemikiran kolaboratif kekuatan koalisi. Bukan menunjukkan kemampuan sebagai leader yang hebat, mampu menawarkan gagasan orisinil dari kecerdasan pemikirannya.
Atau jika pemilih mengkritik calon presiden karena dianggap tidak memiliki kemampuan leadership yang mandiri. Lalu beralih kepada kontestan lain, itu konsekwensi mereka bersaing dalam adu gagasan.
Jadi wacana atau narasi golput perlu dipandang sebagai bagian dari pelajaran demokrasi dan edukasi politik, bukan hanya bagi calon pemilih, namun bagi calon presiden.Â
Pendidikan politik yang mendasar menurut saya adalah, pemahaman yang jujur dan adil atas setiap gagasan dan pengembangan kehidupan demokrasi bangsa.
Menyadari tentang hak warga dan menggunakannya secara sadar lewat sikap positif tanpa merusak atau melukai hak orang lain jauh lebih penting dari sekedar ribut-ribut, atau fatwa hukum golput dalam kehidupan yang demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H