Dasar Negara dan Pandangan Hidup Berbangsa
Pancasila lahir dari sebuah perjanjian luhur berdasarkan hasil musyawarah para pendiri bangsa dan negara Indonesia dalam sidang Dokuritsu Zunby Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dilaksanakan selama dua kali masa persidangan, yaitu pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-16 Juni 1945. Presiden Sukarno pada saat berpidato dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, mengatakan mengenai pentingnya bangsa Indonesia memiliki sebuah “philosofische gronslaag” atau filosofi dasar yang memuat pandangan tentang dunia dan kehidupan.
Menurut Sukarno, dasar negara dan ideologi nasional tersebut, merupakan suatu hal yang abadi yang harus tetap dipertahankan selama berdirinya negara. Ungkapan dari presiden pertama sekaligus proklamator Republik Indonesia tersebut, jelas memperlihatkan mengenai pentingnya dasar negara dan ideologi nasional sebagai landasan berdiri dan tegaknya sebuah negara.
Oleh sebab itu, perumusan dasar negara Indonesia dilakukan melalui penggalian yang mendalam terhadap pandangan hidup dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang mencerminankan nilai-nilai peradaban, kebudayaan, dan keluhuran budi yang mengakar dan teranyam dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal itu pulalah yang kemudian menjadi landasan dari lahirnya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
Sejak pertama kali ditetapkan sebagai dasar negara oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, tepat satu hari setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekannya, Pancasila dianggap sebagai sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang mampu menyatukan bangsa Indonesia dengan keberagaman suku, ras, bahasa, dan agama, sehingga keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun sosio-kultural. Moral dalam arti tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang berlaku di Indonesia, sosio-kultural berarti mencerminankan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, Pancasila kemudian menjadi norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara yang memiliki kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum tertinggi, menjadi pandangan hidup bagi bangsa Indonesia, dan jiwa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara, sekaligus menjadi sumber dari segala sumber hukum yang menjadi cita-cita hukum dan cita – cita bersama bangsa Indonesia.
Sebagai Ideologi atau pandangan hidup, nilai-nilai Pancasila merupakan pedoman dan pegangan dalam pembangunan bangsa dan negara, agar tetap berdiri kokoh dan mengetahui arah dalam memecahkan berbagai masalah seperti ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya dan lain sebagainya. Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, nilai-nilai Pancasila mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, sebab nilai dasarnya merupakan hasil kristalisasi dari nilai budaya bangsa Indonesia asli bukan diambil dari bangsa lain, yang mencerminkan garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Pelajar, Globalisasi dan Masa Depan Bangsa
Ketika Pancasila yang telah ditetapkan sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia dihadapkan pada banyaknya persoalan yang mendera bangsa Indonesia, terlebih dengan semakin cepatnya perkembangan zaman yang diimbangi oleh derasnya arus globalisasi. Pengaruh masuknya budaya asing di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang dikuti tanpa adanya penyaringan kaidah, merupakan salah satu penyebab semakin terkikisnya nilai-nilai Pancasila dan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan kaum muda. Pengaruh globalisasi terhadap kaum muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan yang cenderung ke barat-baratan (westernisme). Mereka menggunakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tertutupi, mereka lebih suka bergaya hidup yang hedonis, urakan, bahkan anarkis. Hal tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan sopan santun sesuai dengan kepribadian bangsa.