13. Mewujudkan Kedaulatan Pangan Sejati
Kedaulatan pangan mempunyai orientasi bagaimana secara berdikari rakyat terpenuhi kebutuhan pangannya tanpa bergantung produk pangan pasar luar negeri. Suatu negara tidak berdaulat jika sebagian besar pangan tersedia harus diimpor demikian juga ekspor bahan pangan untuk meraih keuntungan dengan mengorbankan pemenuhan ketersediaan pangan untuk rakyat sendiri.
Kedaulatan pangan pada dasarnya menunjuk pada peran negara dalam menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara menguasai dan mengalokasikan sumber-sumber agraria, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kedaulatan pangan secara prinsip tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan ekonomi dan nasional suatu negara secara keseluruhan.
Dasar-dasar pelaksanaan kedaulatan pangan Indonesia telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa melalui UUD 1945. Sedikitnya ada 2 pasal dalam UUD 1945 sebagai fondasi dalam mewujudkan kedaulatan pangan yaitu pasal 27 ayat 2 “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan pasal 33 ayat 1, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, ayat 2, Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasasi oleh negara. ayat 3, Cabang cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kedua pasal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya bagi penyelenggaran kedaulatan ekonomi dan kedaulatan pangan oleh negara. Sehingga kedaulatan pangan dalam hal ini bukanlah kedaulatan orang-per orang, atau segolongan orang, akan tetapi kedaulatan sebuah negara. Sehingga kedaulatan pangan merupakan hak azasi sebuah bangsa yang tidak dapat diserahkan pegangannya pada segrlintir orang, atau segelintir korporasi dan pelaku pasar. Sedangkan kedaulatan pangan merupakan kewajiban dari suatu negara yang tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. (IGJ, 2011)
Setidaknya ada tiga gambaran mengenai kondisi yang sangat mendesak dan wajib diperhatikan. Pertama, Kondisi kesejahteraan petani. Kedua, kondisi kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Ketiga, kondisi perkembangan pertanian di era globalisasi. Maka dari itu sudah sewajarnya akar permasalahan yang menghambat pembangunan pertanian wajib diidentifikasi terlebih dahulu. Akar masalah tersebut di atas perlu dipahami. Tanpa menyadari hal itu, apa yang mungkin dianggap sebagai “solusi” sifatnya hanya sesaat dan sepotong-potong yang justru seringkali menimbulkan masalah baru.
Maka dari itu perlu adanya strategi dan perangkat kebijakan agar pertanian Indonesia dapat berdaya saing dan mempunyai kapasitas untuk menjadi gudang pangan dunia. Sulit dibayangkan jika kedaulatan dapat dicapai apabila kebutuhan pokok masyarakatnya tergantung pada negara lain. Ketergantungan dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu, ketergantungan pasokan, pengambilan keputusan, penguasaan modal, alat produksi, teknologi, pola konsumsi dan gaya hidup. Jika hal ini tidak mampu diantisipasi maka ketahanan nasional akan terancam, ditambah lagi apabila negara berpenduduk banyak seperti Indonesia tidak berdikari dalam bidang pangan.
Jika berdaya saing dan berprinsip berdikari adalah syarat menuju negara yang berdaulat dan memliki posisi tawar tinggi di iklim globalisasi, tentu pra-syarat untuk mencapai syarat tersebut harus dirumuskan terlebih dahulu. Pertama, kemauan politik (political will) pemimpin nasional yang lahirdari kesadaran bahwa pembangunan pertanian dan kedaulatan pangan adalah sektor yang potensial dan strategis dalam menghadapi globalisasi. Kemauan dan komitmen dalam hal penataan agraria menjadi hal pokok yang harus dibenahi terlebih dahulu, hal tersebut tentu sejalan dengan seruan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) di tahun 1950-an.. Penataan sumber-sumber agraria terutama tanah dipandang perlu dilaksanankan sesegera mungkin, karena seringkali terjadi benturan kepentingan antara pertanian, bisnis perumahan dan industrialisasi. Kondisi tersebut ini akan mengakibatkan konflik agraria yang terus menerus terjadi sepanjang perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia. Penataan struktur agraria bertujuan untuk menghindari alih fungsi lahan produktif yang potensial untuk dikembangkan untuk pertanian menjadi lahan non-pertanian. Pembenahan struktur agraria juga untuk menghindari serbuan modal asing untuk menguasai sumber agraria utama yaitu tanah. Celaka bagi bangsa ini jika tidak juga mengantisipasi investasi asing besar-besaran di bidang penguasaan dan kepemilikan lahan oleh korporasi raksasa asing, karena bukan tidak mungkin hakikat kita mempunyai tanah dan air sebagai alat produksi utama pertanian akan bergeser menjadi “penumpang tanah dan air” karena kepemilikian oleh asing bukan oleh bangsa sendiri.
Kedua, tentu prinsp keberdikarian dalam bidang pangan akan terasa hambar jika tidak mengikutsertakan program-program yang berbasis pada daya saing produk pertanian. Untuk meningkatkan kualitas agar mampu bersaing di era keterbukaan saat ini, tentu petani harus diberdayakan dengan pendidikan dan penyuluhan demi peningkatan kemampuan di bidang pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan karakteristik petani dan kearifan lokal. Kemudian, dalam hal perluasan kesempatan usaha, program operasionalnya adalah dengan kemudahan akses sumber daya finansial dan pengaturan rantai distribusi hasil panen yang berprinsip kesejahteraan bagi petani. Peningkatan daya saing idealnya turut ditunjang dengan peningkatan teknologi benih bermutu dan infrastruktur pertanian seperti jaringan irigasi, listrik, sarana penyimpanan dan pengemasan hasil panen yang dirancang khusus untuk meningkatkan mutu hasil pertanian. Hasil pasca panen produk pertanan harus dikemas sebaik mungkin menjadi produk pangan yang berkualitas agar pantas dan diterima oleh pasar internasional.
Ketiga, Peningkatan daya saing juga harus mendapat sentuhan tangan dari perangkat regulasi dari pemerintah. Perlindungan bagi petani dari persaingan yang tidak fair harus segera dijadikan prinsip regulasi. Proteksi bagi produk hasil pertanian Indonesia yang diberikan akses pasar menjadi hal-hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini bertujuan agar petani tidak rundung kekhawatiran dan mendapat perlindungan dari negara dari serbuan produk pertanian asing.
Dasar-dasar dalam mewujudkan kedaulatan pangan sebagaimana yang ditetapkan oleh pendiri bangsa berbeda dengan garis kebijakan pemerintahan hari ini yang mnyerahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri kepada mekanisme pasar atau pasar bebas. Di dalam sistem pasar bebas pelaku utamanya bukan rakyat dan negara, akan tetapi multinasional korporasi dan negara-negara maju. Garis kebijakan dalam pengadaan pangan melalu food estate, utang luar negeri dan pasar keuangan komoditas pangan, justru akan semakin meningkatkan kerentanan negara dan rakyat atas krisis pangan dan krisis ekonomi secara keseluruhan.
Oleh karenanya upaya mencapai kedaulatan pangan sejati adalah bagaimana mengembalikan cara-cara pengelolaan ekonomi negara termasuk pengelolaan pangan berdasarkan pada pancasila, UUD 1945, perencanaan pembangunan yang komprehensif serta pembiayaan utama yang bersumber dari kekuatan ekonomi dalam negeri dan melepaskan ketergantungan pada pihak asing yang menjadi penyebab langgengnya kolonialisme dan imperialisme di negeri ini (IGJ, 2011)
Pentingnya kemandirian dan kedaulatan pangan sudah sejak lama dikumandangkan para negarawan dunia. Jawaharlal Nehru, pemimpin Gerakan Non-Blok dan Perdana Menteri pertama India, misalnya, dalam peringatan hari kemerdekaan India mengungkapkan: “everything can wait, except agriculture. Obviously, we must have food and enough food”.
Putri J. Nehru yang menjadi PerdanaMenteri kedua India, Indira Gandhi, jugamemandang kecukupan pangan sebagaikebanggaan nasional suatu bangsa. Iamengungkapkan bahwa suatu bangsa tidakakan memiliki kebanggan apapun apabilatidak mempunyai kemampuan memberimakan penduduknya.Ungkapan yang sangat filosofis daripara negarawan tersebut mempunyaimakna betapa pentingnya ketersediaanpangan yang cukup, di atas segalanya,bagi suatu bangsa. Ungkapan-ungkapan tersebut masih sangat relevan dengankondisi banyak negara berkembang saatini yang mengalami krisis pangan karenatidak memiliki kemandirian dan kedaulatanpangan.
Pada Tanggal 24 September 1960 pemerintah Bung Karno mensahkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sebagai fondasi nasional penataan agraria (sumber kekayaan alam). Kita tentu tak boleh lupa tujuan awal bangsa Indonesia berdiri yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Jangan sampai kita mengalami disorientasi dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan founding fathers, terlebih lagi menggadaikan kedaulatan nasional yang telah susah payah dibangun oleh perjuangan nasional demi mencapai Revolusi kemerdekaan 1945. akhir kata selamat hari tani nasional, semoga bangsa ini kembali pada rel nya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H