SEORANG teman memasang status WhatsApp berisi ajakan menulis bareng beberapa waktu lalu. Melihat itu, saya langsung membatin, "Ini nih, yang membuat Indonesia krisis ISBN."
Ajakan menulis bareng seperti itu seingat saya sudah marak sejak kisaran 5-6 tahun lalu. Bahkan mungkin lebih lama lagi, hanya saja saya baru mengamati dalam rentang itu.
Polanya, penyelenggara mengumpulkan sejumlah penulis yang bersedia menulis (biasanya) cerpen dengan tema yang telah ditentukan. Umumnya kisaran 20-25 penulis untuk satu proyek.
Setelah terkumpul, para penulis ini disatukan dalam grup WA atau Telegram untuk memudahkan koordinasi. Lalu mereka diberi arahan dan diminta mengirimkan karya sesuai tenggat.
Tulisan hasil karya penulis inilah yang lantas dibukukan. Jadinya buku antologi, kumpulan cerpen bertema tertentu.
Sebagai iming-iming untuk menggaet penulis, biasanya dalam banner promosi ajakan menulis bareng seperti ini dicantumkan satu mantra: buku terbit ber-ISBN. Dan, percayalah, mantra itu sangat ampuh.
Berangkat dari fenomena inilah saya merancang judul tulisan ini. Karena memang terjadi salah kaprah dalam memahami buku ber-ISBN, bahkan di kalangan mereka-mereka yang mengaku sebagai pegiat literasi.
ISBN adalah Jaminan Mutu?
Salah kaprah paling umum mengenai buku ber-ISBN adalah buku tersebut sudah pasti bermutu. ISBN dianggap sebagai stempel yang mengonfirmasi kualitas sebuah buku.
Pemikiran ini dulu sempat membuat banyak penulis tidak tertarik dengan konsep self-publishing alias penerbitan indie. Pasalnya, kebanyakan buku yang diterbitkan secara mandiri tidak ber-ISBN.
Karena salah kaprah, orang enak saja beranggapan jika buku yang diterbitkan secara mandiri itu kualitasnya rendah semata-mata karena tidak ber-ISBN. Sedangkan yang ber-ISBN secara otomatis dianggap bermutu bagus.