Tim nasional Indonesia U-24 yang akan berlaga di Asian Games 2022 edisi tunda telah tiba di Hangzhou, Tiongkok, pada Sabtu (16/9/2023) kemarin. Meski diwarnai kendala dan keterbatasan, Indra Sjafri selaku pelatih bertekad meraih hasil maksimal.
Kendala pertama yang dihadapi tim asuhan Coach Indra adalah kelengkapan anggota tim. Pada hari terakhir pemusatan latihan di Jakarta, hanya 15 pemain yang bergabung dari total 22 nama yang dipanggil.
Lalu pada hari keberangkatan, yang datang ke Bandara Soekarno-Hatta cuma 16 pemain. Tim terpaksa pecah menjadi dua rombongan, sebab enam pemain lainnya baru bisa menyusul pada Ahad (17/9/2023) malam WIB.
Kondisi ini jelas jauh dari kata ideal, sebab sepakbola termasuk salah satu cabang olahraga yang bakal dimainkan terlebih dahulu. Indonesia sendiri sudah akan bertanding pada Selasa (19/9/2023) mendatang melawan Kyrgyzstan.
Praktis, Coach Indra hanya punya waktu satu hari untuk mempersiapkan timnya jelang laga perdana di Grup F tersebut. Tentu saja bukan persiapan yang diinginkan sang pelatih.
Namun demikian tak ada kata pesimis dalam kamus seorang Indra Sjafri. Ia yakin dirinya dan anak-anak asuhnya mampu melawan segala hambatan dan kemustahilan demi menghadirkan kejutan di Asian Games kali ini.
"Jika kamu percaya pada apa yang kamu lakukan, tidak akan ada yang menghambat pekerjaanmu. Banyak karya dunia terbaik telah dilakukan melawan kemustahilan yang tampak."
Demikian bunyi takarir (caption) pada unggahan terbaru di akun Instagram Coach Indra. Posting tersebut diunggah pagi ini, menampilkan dokumentasi kedatangan tim sepakbola Indonesia di Hangzhou.
Tak lupa Indra Sjafri menyertakan tagar andalannya yang berbunyi "bangkit sepakbola Indonesia", "tradisi prestasi" dan "semangat menolak menyerah". Tagar yang salah satu maupun ketiga-tiganya selalu menyertai setiap unggahan sang pelatih.
Sejarah Lama
Tekad Indra Sjafri memberikan kejutan di Asian Games tentu membuat penasaran. Seperti apakah bentuk kejutan yang dimaksud pelatih peraih medali emas SEA Games 2022 Kamboja tersebut?
Jika menilik catatan partisipasi Indonesia di Asian Games, raihan tertinggi adalah medali perunggu di Tokyo pada 1958. Prestasi yang sudah berlalu sangat lama sekali, tepatnya 65 tahun lalu.
Sebagai gambaran betapa lamanya waktu yang telah berlalu, ketika itu Israel masih menjadi bagian sepakbola Asia. Malaysia masih bernama Malaya yang hanya terdiri dari kawasan semenanjung minus Sabah-Sarawak, sedangkan Myanmar masih bernama Burma.
Lalu pelatih maupun anggota skuat timnas peraih medali perunggu kala itu juga sudah berpulang. Tak ada lagi pelaku torehan bersejarah bagi sepakbola Indonesia tersebut yang tersisa.
Mundur satu edisi ke belakang, capaian Indonesia yang sedikit lebih rendah adalah menjadi semifinalis pada Asian Games 1954 di Manila. Sayang, di partai semifinal Tim Garuda kalah dari Republik Tiongkok (kini jadi Chinese Taipei atau Taiwan), lalu pada perebutan tempat ketiga kalah dari Burma.
Empat tahun berselang, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Namun alih-alih meraih sukses di kandang sendiri, timnas justru mentok di fase grup karena menjadi juru kunci klasemen akhir.
Indonesia baru bisa mencapai semifinal lagi pada Asian Games 1986 di Seoul. Namun timnas kalah dari tuan rumah dengan skor telak 0-4. Kemudian dalam perebutan medali perunggu kalah 0-5 dari Kuwait.
Setelah itu, Indonesia tak pernah lagi masuk empat besar Asian Games. Terus melorot dan perlahan-lahan menghilang, terutama ketika cabor sepakbola tak lagi boleh menurunkan tim senior.
Selangkah Lebih Baik
Pada era ketika cabor sepakbola Asian Games mempertandingkam tim U-23, yakni sejak Asian Games 2002 di Busan, prestasi terbaik Indonesia hanyalah mencapai 16 besar.
Menariknya, capaian tersebut diperoleh secara berturut-turut pada dua edisi terakhir. Yakni Asian Games 2018 pada saat bertindak sebagai tuan rumah dan Asian Games 2014 di Incheon.
Pada 2014, Indonesia lolos ke 16 besar selaku runner-up Grup E di bawah Thailand. Lawan di fase gugur adalah Korea Utara yang menjuarai Grup F.
Hasilnya, Tim Garuda kalah telak 1-4. Satu-satunya yang bisa dibanggakan dari pertandingan ini adalah, Indonesia merupakan tim pertama (dari cuma dua tim) yang bisa menjebol gawang Korut.
Di sepanjang turnamen itu gawang Korea Utara hanya bobol dua kali. Sekali oleh Fandi Eko Utomo di 16 besar, lalu sekali lagi oleh Rim Chang-woo dari Korea Selatan di partai final.
Lalu pada 2018, Indonesia melaju ke fase knock-out sebagai juara Grup A. Lawannya di 16 besar adalah Uni Emirat Arab yang lolos dari jalur peringkat tiga terbaik.
Catatan UAE tidak meyakinkan ketika itu. Namun ternyata timnas tak bisa menaklukkan lawan dan malah kalah adu penalti.
Well, melihat catatan Indonesia di Asian Games, terutama di dua edisi terakhir, lolos ke 16 besar semestinya bukan lagi target. Itu adalah keharusan, sekalipun lewat jalur peringkat tiga terbaik.
Kalau bicara harapan, tentu saja saya ingin Indonesia kembali meraih medali Asian Games. Saya ingin dahaga 65 tahun ini terobati, seperti halnya puasa emas SEA Games baru saja kita putus.
Namun saya juga realistis, tanpa sama sekali bermaksud meremehkan kemampuan Rizky Ridho, dkk. Meraih medali agaknya target yang terlalu tinggi untuk kita capai di Asian Games.
Maka, jika Indra Sjafri bertekad menghadirkan kejutan, saya hanya berharap apa kelak yang ia capai bersama tim Indonesia U-24 adalah rekor yang lebih baik dari 2014 dan 2018. Itu saja.
Ya, minimal menembus perempatfinal. Kalaupun ternyata sukses meraih medali, mana mungkin saya menolak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H