SAAT dikalahkan Vietnam di partai leg kedua semifinal Piala AFF 2022, Indonesia menurunkan 3 pemain naturalisasi. Bek Jordi Amat dan gelandang bertahan Marc Klok yang turun sejak kickoff, disusul penyerang Ilija Spasojevic yang masuk sebagai pemain pengganti.
Di lain pihak, Vietnam menurunkan skuad yang 95,65% berdarah lokal. Kurang 4,35% karena penjaga gawang mereka, Dang Van Lam, merupakan campuran Vietnam-Rusia. Pemegang rekor clean sheet di Piala AFF 2022 ini punya nama lain Lev Shonovic Dang.
Wajar jika kemudian ada yang mengejek Indonesia. Berbekal tiga pemain naturalisasi, di mana kesemuanya pernah bermain di kompetisi Eropa, Tim Garuda keok dari Vietnam yang tanpa 'pemain asing' sebab Dang Van Lam hitungannya blasteran.
Namun apa yang dilakukan Indonesia, yakni naturalisasi pemain, tidaklah sepenuhnya salah. Toh, Prancis di Piala Dunia 2022 lalu malah seperti sebuah tim dari Afrika alih-alih tim Eropa. Coba hitung saja sendiri berapa pemain berkulit putih Prancis dalam pertandingan melawan Argentina.
Kalau kita kaitkan dengan topik seri tulisan ini, timnas Curacao yang dihadapi Indonesia pada September 2022 lalu juga mengusung strategi naturalisasi pemain. Itu sebab dalam pandangan saya para pengurus PSSI layak belajar dari federasi sepak bola Curacao.
Mau Tak Mau Naturalisasi
Coba lihat lagi susunan starting eleven Curacao kala menghadapi Indonesia di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, 24 September 2022. Dari 11 pemain yang masuk lapangan, hanya dua orang yang lahir di Curacao. Keduanya adalah penjaga gawang Tyrick Bodak dan bek sayap Shanon Carmelia.
Sisa yang sembilan, semuanya kelahiran Belanda. Rangelo Janga, misalnya. Pencetak gol pertama Curacao ini lahir di Rotterdam. Bahkan sepanjang kariernya di level klub, tak pernah sekalipun Janga merumput di Liga Curacao ataupun klub-klub zona CONCACAF. Selalunya di Eropa, di zona UEFA.
Demikian pula pencetak gol kedua Curacao, Juninho Bacuna. Gelandang tengah Birmingham City ini lahir di Groningen, sebagaimana kakak kandungnya Leandro.
Mungkin sudah ada yang menangkap apa yang hendak saya sampaikan. Benar sekali, timnas Curacao dibangun dengan pemain-pemain 'naturalisasi'. Itu sebab saya pada tulisan pertama saya berkata jika Indonesia juga telah melakukan hal sama.
Curacao mau tidak mau harus melakukan 'naturalisasi' pemain. Kalau cuma mengandalkan pemain-pemain asli Curacao, selamanya mereka bakal jadi spesialis kualifikasi.
Bayangkan saja, liga domestik Curacao hanya beranggotakan 10 klub. Itupun seluruhnya berstatus semiprofesional. Kalau sekadar bersaing di level Karibia (CFU) mungkin masih bisa, tetapi tidak di level CONCACAF.
Itulah sebabnya proyek 'naturalisasi' pemain dilakukan FFK. Patrick Kluivert yang menangani timnas Curacao pada 2015-2016 disebut-sebut sebagai sosok yang aktif menggaet pemain-pemain dari Belanda.
Oya, saya sengaja memberi tanda kutip pada kata naturalisasi di atas. Sebab, perpindahan para pemain kelahiran Belanda ke timnas Curacao tidak melalui proses administrasi pindah negara. Curacao adalah negara konstituen Kerajaan Belanda, jadi warga negara Curacao berpaspor Belanda.
Rata-rata pemain yang memperkuat timnas Curacao saat ini, pernah membela Belanda di level junior. Sebut saja Leandro Bacuna dan Rangelo Janga sebagai contoh.
Kiper gaek Eloy Room yang tidak dibawa Bicentini ke Indonesia pernah punya cerita soal ini. Katanya, seperti saya baca di Goal.com, setiap pemain keturunan Curacao di Belanda pasti punya keinginan bermain untuk timnas Belanda.
Room sendiri sempat berada sangat dekat dengan kemungkinan membela timnas Belanda. Namun dia harus berpikir realistis karena saingannya di masa itu adalah Tim Krul dan Jasper Cilessen. Itu sebab Room lantas ganti membela tanah leluhurnya, Curacao.
Naturalisasi a la Curacao
Sama-sama melakukan naturalisasi pemain, bahkan PSSI lebih dulu melakukannya sejak 2010, kenapa prestasi Indonesia tidak secemerlang Curacao?
Maaf-maaf kata, di Indonesia proyek naturalisasi pemain sepenglihatan saya banyak yang ditunggangi kepentingan selain timnas. Dari niat awal memperkuat timnas, berubah menjadi akal bulus segelintir oknum untuk mengakali regulasi liga.
Aturan pembatasan pemain asing, misalnya. Demi tetap dapat memakai pemain asing tetapi kuota pemain asing yang dimiliki klub sudah habis, maka si pemain lantas dinaturalisasi.
Memang sulit mencari bukti atas dugaan ini. Namun setidaknya kita semua layak merasa curiga, sebab umur pemain yang dinaturalisasi seringkali bikin dahi berkerut dalam.
Kalau niatnya memang untuk kebutuhan jangka panjang timas, mengapa menaturalisasi pemain yang sudah melewati usia produktif? Pemain yang malah sudah bisa dibilang habis untuk level internasional.
Alberto Goncalves, contohnya, yang dinaturalisasi saat berusia 37 tahun. Sewakttu tampil membela timnas melawan Vietnam pada 15 Oktober 2019, usia pemain berdarah Brazil tersebut 38 tahun 287 hari. Hari itu Beto mematahkan rekor kiper legendaris Hendro Kartiko.
Demikian halnya Cristian Gonzales. Ketika melakoni debut bersama timnas melawan Timor Leste pada 21 November 2010, usia El Loco sudah 30 tahun 5 bulan 1 hari.
Okelah, keduanya penyerang-penyerang subur. Sepanjang lima tahun berseragam timnas, El Loco mengemas 12 gol dari 29 penampilan. Beto lebih gokil lagi, sebab mampu mengukir 10 gol hanya dalam 12 pertandingan bersama Tim Garuda.
Masalahnya, seberapa lama kita bisa mengandalkan Beto jika si penyerang baru bisa membela Indonesia di usia 37 tahun? Gonzales yang dinaturalisasi saat berusia 30 tahun saja cuma bisa bertahan lima tahun. Itupun dengan produktivitas yang semakin menurun.
Menaturalisasi pemain berkepala tiga tidak pernah terjadi di Curacao. Para pengurus FFK paham benar, membangun timnas butuh proses tidak sebentar. Maka dari itu, mereka perlu pemain-pemain usia muda yang punya cukup waktu untuk mengikuti proses tersebut.
Contoh pemain yang paling tepat menurut saya adalah seperti Elkan Baggott, sekalipun ia kurang tepat disemati sebutan pemain naturalisasi. Usia Elkan masih muda, juga membawa warna baru bagi permainan timnas. Untuk kali pertama pertahanan Indonesia punya 'aroma' Eropa.
Masuknya Sandy Walsh masih okelah. Usianya 27 tahun sekarang, setidaknya tenaga pemain KV Mechelen bisa dipakai untuk dua kali Piala Asia (2023 dan 2027) serta dua atau tiga Piala AFF (2024, 2026, 2028).
Lalu Shayne Pattynama yang proses naturalisasinya sudah disahkan Presiden Joko Widodo, juga baru berusia 24 tahun. Jika mampu mempertahankan performa, masa depan left back berdarah Maluku ini di timnas Indonesia masih sangat panjang.
Meniru langkah Curacao pula, kalau perlu PSSI membuat aturan agar para pemain naturalisasi harus merumput di luar negeri. Di Asia Tenggara saja tidak mengapa, sebab kualitas Malaysia Super League, V.League (Vietnam), Thai League 1 atau Singapore Super League berada di atas di Liga 1 menurut AFC Club Competitions Ranking edisi 2022.
Setelah rampung menata ulang program naturalisasi pemain, langkah berikutnya yang perlu dicontoh PSSI dari federasi sepak bola Curacao adalah ... tunggu di tulisan selanjutnya.
Catatan: Judul ini merupakan yang kedua dari tiga tulisan mengenai timnas Curacao. Judul sebelumnya adalah Yang Perlu Dipelajari PSSI dari Federasi Sepak Bola Curacao dan selanjutnya Buruk Muka Federasi, Jangan Pelatih yang 'Dibelah'.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI