Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiket Candi Borobudur Naik? Setuju Sekali!

13 Juni 2022   05:31 Diperbarui: 13 Juni 2022   19:38 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: Wikipedia/Gunawan Kartapranata (CC BY-SA 3.0)

Tingkah mereka pun aneh-aneh. Demi mencari spot tidak biasa, enggak sedikit yang sampai manjat ke tempat-tempat yang sudah diberi label "jangan dinaiki". Ajaib memang.

Fenomena ini bukan baru-baru saja, di mana Instagram jadi Tuhan kedua bagi nyaris semua anak muda. Ini sudah terjadi bahkan jauh sebelum era medsos dan ponsel berkamera seperti sekarang. Sejak saya pertama kali magang di Candi Prambanan medio 2001, sudah begini ini keadaannya.

Asal tahu saja, dulu banyak kamera murah-murah. Murahan malah jatuhnya. Saya pernah beliin satu untuk adik pas dia study tour ke Prambanan di tahun 2003. Habis tur itu kamera sudah rusak. Di dekat tempat-tempat wisata biasanya ada yang jual kamera model begini, lengkap dengan rol filmnya.

Tipikal Asia

Enggak cuma turis lokal, sih. Sependek pengalaman saya, kebanyakan wisawatan Asia seperti ini. Dalam artian, enggak terlalu memiliki ketertarikan mendalam pada obyek-obyek wisata candi.

Sebut saja turis Jepang. Seorang tour guide Jepang yang dulu saya kenal bahkan sempat berkelakar, mendingan saya ganti belajar bahasa Jepang saja ketimbang melanjutkan belajar bahasa Prancis.

"Turis Jepang itu enak. Kamu bawa ke lokasi, tunjukin obyek wisata sekadarnya saja, terus biarkan bebas sendiri suruh foto-foto, deh."

Kira-kira begitu kata tour guide Jepang tersebut waktu itu. Saya parafrasa karena tentu sudah lupa ucapan persisnya seperti apa. Dia menambahkan, bawa turis Jepang itu cukup 30 menit untuk jelasin obyek, yang lebih lama malah buat foto-foto dan belanja souvenir.

Berbeda dengan kebanyakan turis Eropa dan Amerika Serikat. Mereka datang selalu didampingi tour guide. Kecuali para backpacker biasanya, tetapi setidak-tidaknya mereka bawa buku panduan semacam Lonely Planet.

Para turis Barat ini bakal berjalan dengan pelan-pelan, tampak menikmati betul setiap bagian candi. Mereka memerhatikan setiap jengkal relief baik-baik, terkagum-kagum, sambil mendengarkan cerita tour guide yang menemani.

Kalau yang suka fotografi, mereka bisa menghabiskan entah berapa rol film sekali masuk. Bukan foto selfie, tetapi menangkap setiap sudut candi yang menurut mereka menarik. Foto-foto inilah souvenir tak ternilai yang mereka bawa pulang dengan penuh kebanggaan.

Enggak cuma mendengarkan, mereka juga seringkali mengajukan pertanyaan mengenai materi yang disampaikan tour guide. Bertanya-tanya mengenai gambar relief atau arca tertentu, misalnya. Juga menanyakan seputar Hinduisme (kalau di Prambanan) pada era candi dibangun, kondisi sosiohistoris masa itu, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun